Ketika sudah menikah, ada kenyataan pahit yang entah disadari atau tidak, bahwa hidup perempuan bukan lagi miliknya. Jadi, ketika perempuan punya impian, impian tersebut harus dikubur dalam-dalam seiring dengan perubahan statusnya dari lajang menjadi istri orang.
Perempuan yang masih memelihara mimpinya, bahkan berusaha mewujudkan, dianggap belum selesai dengan dirinya. Pernikahan dianggap sebagai impian purna setiap perempuan sehingga seharusnya tidak perlu ada lagi pikiran untuk lanjut kuliah, mengembangkan karir, solo travelling dan sederet pencapaian personal lainnya.
Jika perempuan tetap ingin memperjuangkan impiannya, orang akan menyebutnya egois. Jika perempuan tersebut sukses mewujudkan mimpinya, pencapaiannya dianggap tidak berarti apa-apa.
Situasi yang terjadi pada Nadia dan tante saya merupakan sesuatu yang agak tidak lazim di masyarakat kita. Sesuatu yang di luar kebiasaan umum biasanya akan menuai reaksi negatif. Apabila situasi ini dibalik, pandangan miring masyarakat tidak akan dialami oleh suami. Tidak akan ada orang yang menanyainya soal apakah dia tidak takut istrinya selingkuh atau apakah dia tidak takut kehilangan momen emas bersama anak.
Berbeda sekali bukan, dengan apa yang dialami perempuan? Orang-orang yang terlalu perhatian memang suka sekali membenturkan antara masalah pengasuhan anak, pemenuhan kebutuhan biologis suami dengan keinginan untuk mewujudkan cita-cita.
Ibu rumah tangga memang beruntung karena bisa menyaksikan setiap saat pertumbuhan anak. Namun, saya yakin bahwa ibu yang baik, apapun profesi atau apapun yang dia kerjakan, pasti punya cara masing-masing dalam mengasuh dan mencintai anak-anaknya. Tugas kita sebagai sesama perempuan adalah tidak menggurui dan tidak menghakimi.
Komentar-komentar yang menjatuhkan mimpi perempuan berangkat dari pemikiran yang menempatkan perempuan sebagai pelayan suami. Itu sebabnya, ketika ada perempuan sudah bersuami dan beranak yang menempuh jalan hidup seperti Nadia, pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah "gak takut suami selingkuh?" dan siraman rohani mengenai tanggung jawab seorang istri.
Para perempuan yang bisa tetap meraih mimpinya saat statusnya sudah menikah, seringkali adalah mereka yang memiliki suami suportif. Suami yang memperlakukan mereka dengan setara, menghormati mereka sebagai manusia dan tidak menjadikan pernikahan sebagai pembenaran untuk mematikan cita-cita mereka. Para perempuan hebat itu juga pasti memiliki suami yang memperlakukan mereka sebagai mitra sehidup-semati, bukan pelayan, sebagaimana kebiasaan yang sudah mandarah daging selama ini. Â
"Lagian, ngapain sih udah nikah dan bekerja, masih ngejar pendidikan tinggi-tinggi?"
Begini teman-teman, rezeki dan timeline setiap orang beda-beda. Ada yang dikasih rezeki bisa kuliah S2 atau S3 sebelum menikah. Tapi ada juga yang baru dikasih setelah menikah. Kalau memang dikasih Tuhan dalam kondisi ketika sudah berkeluarga, ya terus mau apa? Mau protes?
Anda yang suka gatel ngata-ngatain pilihan hidup perempuan, mungkin tidak paham kalau kebutuhan dan kondisi orang beragam. Siapa tahu, perempuan tersebut memang hobi sekolah sehingga ketika dapat kesempatan kuliah S2 atau S3, tidak ingin menyia-nyiakan. Apalagi si perempuan punya suami yang mendukung cita-citanya dan mau berbagi peran dalam mengasuh anak. Kalau saya yang di posisi perempuan itu, saya akan sangat bahagia dan memanfaatkan kesempatan yang ada sebaik-baiknya.