Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Perilaku Manipulatif Pelaku KDRT yang Dapat Memperburuk Kondisi Korban

13 Oktober 2023   17:16 Diperbarui: 14 Oktober 2023   08:45 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi korban KDRT. (Sumber gambar: Karolina Grabowska from Pexels)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena gunung es. Ia termasuk dalam kategori kekerasan di ranah personal, yang menurut CATAHU Komnas Perempuan (tertanggal 7 Maret 2023), jumlahnya masih mendominasi pelaporan kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Dari 339.782 pengaduan kasus KBG, sebanyak 336.804 kasus merupakan kekerasan di ranah personal. 

Sementara itu, data pengaduan ke Komnas Perempuan untuk kasus kekerasan di ranah personal menjadi yang tertinggi sepanjang 2022 dengan jumlah mencapai 2.098 kasus (pengaduan lainnya diajukan dan ditangani oleh instansi lain). 

Jika dirinci lagi, pengaduan atas kekerasan terhadap istri menempati peringkat kedua tertinggi (622 kasus), setelah kekerasan oleh mantan pacar (713 kasus). 

Kompasianer Yana Haudy melalui artikelnya yang berjudul Reversi Korban KDRT dan Cara Kita Memandang Kekerasan Terhadap Perempuan telah menjelaskan dengan lengkap alasan perempuan bertahan dalam hubungan KDRT serta cara menyikapinya. 

Dari alasan-alasan yang dikemukakan penulis, bisa disimpulkan bahwa perempuan sulit keluar dari hubungan yang penuh kekerasan karena dirinya sengaja dibuat ketergantungan oleh pasangan. 

Hal ini dilakukan lewat perilaku manipulatif dan kontrol berlebihan yang berpotensi untuk berkembang dan memperburuk kondisi korban KDRT sebagai berikut.

1. Melarang pasangan bekerja tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan membatasi akses finansial pasangan

Ini tidak berarti perempuan tidak boleh jadi ibu rumah tangga, ya. 

Lagipula, istri yang bekerja belum tentu bebas dari kekerasan ekonomi. Istri bekerja, tapi uang hasil kerjanya malah dipakai main judi slot oleh suaminya atau dihabiskan oleh suami untuk hal-hal yang tidak penting, itu berarti si istri tidak bebas dari kekerasan ekonomi. 

Sekali lagi, ibu rumah tangga itu bukan tanda ketidaksetaraan atau korban kekerasan ekonomi, selama: 1.) merupakan pilihan dia sendiri, 2.) kalaupun itu permintaan suami, sudah ada komunikasi yang baik antara keduanya dan 3.) hak-hak istri (terutama hak-hak dasar) terpenuhi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun