Maka, benar apa yang ditulis oleh Kompasianer Inosensius I. Sigaze dalam artikelnya bahwa menyebut nama K-ner perempuan tertentu bisa membuat mereka bangga tapi juga bisa menciptakan kekecewaan pada mereka yang tidak disebut namanya.
Jika beliau yang laki-laki saja bisa paham hal sesederhana ini, mengapa saya yang perempuan tidak bisa? Di mana perasaan saya yang seharusnya lebih mampu berempati pada sesama perempuan?
Saya tidak ingin "woman supports woman", "me too", "sisterhood" dan apapun itu hanya menjadi tagar di media sosial dan jargon kosong.
Dengan menyadari bahwa ada jiwa atau semangat Kartini dalam diri setiap K-ner perempuan, saya ingin mematahkan stereotipe persaingan perempuan.
Saya ingin agar tulisan saya bisa menjadi ruang aman yang mendukung dan menguatkan K-ner perempuan lain untuk berani merangkul identitas dan keunikannya.
Bagi saya, meski dengan tertatih-tatih, perempuan yang berani menulis (tentang apapun itu) harus diapresiasi dan didukung.
Kartini menjadikan membaca dan menulis sebagai sarana pembebasan dari sesaknya tembok pingitan. Ia menolak tunduk pada kebodohan dan hal-hal yang menciderai nilai-nilai kemanusiaan, termasuk upaya-upaya untuk meminggirkan kaum perempuan.
Zaman Kartini memang sudah berlalu seratus tahun lebih. Namun, semangatnya untuk mencerdaskan dan mencerahkan pemikiran para perempuan akan terus hidup sampai kapanpun.
Dan sekarang, kita bisa melihat serta merasakan semangat itu dari para K-ner perempuan yang tetap berkarya, meski tak jarang terhalang oleh keterbatasan.
Selamat Hari Kartini. Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan, baik hari ini maupun besok pagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI