Tone policing juga sering digunakan dalam masyarakat yang patriarkis untuk membungkam suara dan pergerakan perempuan. Dalam hal ini, masyarakat akan selalu menundukkan para perempuan pada kesesuaian dengan peran dan stereotipe gender.
Contohnya seperti yang sudah saya tuliskan di awal, di mana seorang istri marah-marah karena suaminya menggunakan uang hasil kerjanya untuk berjudi.
Sejatinya, ekspresi marah-marah si istri itu masuk akal. Sudah capek-capek kerja, mungkin juga si istri ini pencari nafkah utama, tapi suami malah menghambur-hamburkan uang untuk bertaruh dengan mesin. Wajar istri marah-marah.
Namun, marah-marah istri ini akan ditanggapi dengan, "Kamu bisa gak sih gak usah marah-marah terus? Aku capek nih!" Â Seolah-olah yang salah di sini adalah si istri karena marah-marah.
Bahkan, ketika perempuan menyuarakan isi pikiran dan hatinya dengan tegas tapi tetap menghormati lawan bicara pun, mereka yang merasa "tersinggung" seringkali akan meminta si perempuan ini untuk bersikap lemah lembut dan santun agar lebih nyaman didengar sehingga bisa direspon dengan lebih baik. Padahal itu hanya upaya cari-cari alasan karena egonya merasa terserang dan terancam.
Dengan demikian, tone policing seolah menafikan fakta bahwa setiap manusia punya emosi negatif yang bisa muncul ketika mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Mengekspresikan emosi negatif juga tidak selalu buruk, selama masih terkontrol dan ada alasan logis yang mendasarinya.
Saya tahu, dikritik itu memang tidak enak. Tidak nyaman. Apalagi kalau disampaikan dengan rasa kecewa, marah, intonasi dan nada bicara yang tinggi dan keras.
Namun, menyerang cara mengekspresikan atau emosi orang lain yang menyampaikan kritik akan membuat kita lalai dari fokus pada substansi kritiknya. Akhirnya, pesan yang hendak disampaikan jadi terabaikan. Itu pun sama artinya dengan kita menutup mata dan kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Â
Selama pesan yang disampaikan itu masuk akal dan bukan merupakan serangan personal, tidak ada alasan bagi kita untuk mengangaapnya invalid, meski pesan tersebut tidak disampaikan "in a polite way". Â Â
Kita juga sebaiknya belajar membedakan antara sikap tegas dan galak karena seringkali orang yang melakukan tone policing tidak mampu membedakan dua hal tersebut. Orang yang sukanya marah-marah terus, bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu marah, itu berarti galak. Sementara orang yang tegas berarti teguh pada pendirian, punya prinsip yang jelas.
Orang tegas itu kalau A ya dia bilang A, kalau B ya bilang B. Kalau salah bilang salah, benar bilang benar. Mereka bukan orang plin-plan yang mudah terseret arus sana-sini hanya untuk menyenangkan orang lain.