Apa sih yang membuat sebuah lagu begitu asyik untuk dinikmati? Alunan melodinya? Iramanya? Suara penyanyinya? Vibe lagunya? Atau liriknya?
Apapun itu, setiap orang biasanya punya beberapa lagu favorit yang dirasa dekat dan menggambarkan suasana hati atau kehidupannya. Semacam life anthem, kalau boleh saya sebut.
Musik adalah bahasa yang universal selain cinta.Â
Buktinya, meski kemampuan berbahasa Inggris seseorang cuma sebatas bisa ngomong "yes", "no", "thank you" dan "I love you", dia masih bisa asyik dan pede saja menyetel bahkan menyanyikan lagu-lagu Barat.Â
Seorang K-Poper, meski hanya fasih mengucapkan "annyeonghaseyo", "oppa" dan "saranghae", nyatanya tetap rela nabung berbulan-bulan biar bisa beli album, merchandise atau nonton konser sang idol.Â
Bahkan mereka yang gak ngerti banyak soal dunia per-KPop-an pun masih bisa ikut larut dalam gegap gempita konser Blackpink yang belum lama ini digelar di Gelora Bung Karno.
Sama halnya dengan makanan, selera musik setiap orang berbeda-beda. Ada yang suka musik pop (baik Indonesian Pop, Western Pop, Korean Pop, Japanese Pop dan lain-lain), rock, dangdut, keroncong, jazz, hip hop dan sebagainya. Dengan demikian, selera musik adalah sesuatu yang personal.Â
Itu teorinya. Praktiknya, orang-orang dengan selera musik tertentu kadang merasa lebih superior ketimbang mereka yang selera musiknya dianggap mainstream. Sampai-sampai masalah perbedaan selera musik jadi bahan perdebatan dan memunculkan stereotipe antar penikmat musik.
Misalnya, K-Poper sering distereotipekan sebagai bocil-bocil alay dan cewek-cewek jones alias jomlo ngenes karena suka nge-halu pacaran sama oppa-oppa boygroup idolanya. K-Pop juga seringkali dipandang rendah karena hanya menjual tampang, bukan bakat apalagi musik.Â
Pencinta musik jazz yang sering dianggap classy dan elit karena katanya musik jazz adalah musiknya kaum borjuis.Â
Sementara penyuka musik dangdut tak jarang ditempatkan di kasta bawah karena seleranya dianggap kampungan.
Dari semua pencinta musik, yang paling menjengkelkan adalah orang-orang yang ngaku-ngaku anak indie (baca: pencinta musik indie) tapi sok edgy alias merasa paling anti mainstream dan paling keren.
Lagu-lagu atau musisi-musisi indie yang dia tahu sebenarnya cuma itu-itu saja, tapi merasa paling paham. Mereka juga suka menjelek-jelekkan selera orang lain. Seolah-olah orang yang menyukai musik-musik atau musisi-musisi yang lebih mainstream itu dangkal.
Sok indie tapi tidak paham hal yang paling dasar bahwa indie itu bukan genre musik. Indie adalah singkatan dari "independent". Dalam dunia musik, istilah ini mengacu pada label rekaman.
Jadi, yang dimaksud dengan musisi indie adalah musisi yang memproduksi karyanya secara mandiri, tanpa campur tangan label rekaman major. Mereka menulis lagu sendiri, buat album sendiri, rekaman sendiri dan mendistribusikan sendiri. Soal genre musik, tentu bermacam-macam.
Lalu, hanya karena musisi-musisi indie banyak yang mengusung aliran folk, bukan berarti semua musik indie harus seperti itu.Â
Musisi dangdut sekalipun, kalau dari proses bikin lagu sampai pemasaran dan distribusi dilakukan secara mandiri, dia adalah musisi indie.
Lirik lagu yang sendu, bermakna dalam atau yang puitik dan seperti bahasa sastra, lalu diromantisasi lewat quote-quote tentang cinta, senja dan kopi yang dijadikan identitas oleh anak indie. Sungguh pemahaman dan romantisasi yang menyesatkan.
Lagipula, kenapa sih hal-hal personal seperti selera musik sampai bikin gontok-gontokan? Apa salahnya jika orang lebih suka dangdut ketimbang pop? Apakah orang yang lebih suka dengan lagu-lagu mellow dan soft harus dipaksa untuk suka dan mendengarkan lagu-lagu cadas? Apakah orang yang lebih suka mendengarkan lagu-lagu underground selalu lebih keren dari orang yang mendengarkan Top 40 Billboard Chart?
Musisi yang kamu idolakan memang akan senang ketika kamu menyukai, mengapresiasi dan membela karya-karya mereka. Tapi saya tidak yakin mereka akan tetap berterima kasih padamu jika kamu bersikap sok superior dan menghina selera musik orang atau karya musisi lain.
Ibarat di dunia KPop, yang ribut bukan sesama idol, melainkan fandom atau fans dari idol yang bersangkutan. Lha wong, musisi yang kamu idolakan juga masih mendengarkan musik dari musisi lain, bahkan yang genrenya berseberangan dengan genre musiknya.
Sebagai sarana hiburan dan bahasa yang universal, menikmati musik seharusnya tidak seribet itu. Kalau suka, dengarkan. Kalau tidak, tinggalkan. Kalau punya modal lebih, silakan beli album yang original atau tonton konsernya. Sederhana bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI