Kekerasan politik terhadap perempuan tidak hanya menyasar mereka yang mencalonkan diri untuk duduk di kursi-kursi pemerintahan, tapi juga pengurus partai, keluarga, aktivis dan awak media yang vokal dalam menyuarakan isu-isu perempuan.Â
Tindak kekerasan pun tidak hanya datang dari lawan politiknya. Kekerasan juga bisa dilakukan oleh warganet, teman politisi, konstituen, para pemilih bahkan anggota keluarga yang berbeda pilihan politik dengan politisi perempuan tersebut.
Kekerasan politik terhadap perempuan bukan hanya menjadi masalah di Indonesia, melainkan global, di mana kasusnya mengalami peningkatan di sebagian besar negara di dunia.
Hasil survei Inter-Parliamentary Union (IPU) pada 2016 yang dilansir oleh Indonesia Election Portal menunjukkan bahwa di seluruh dunia, sebanyak 81,8% perempuan anggota parlemen yang menjadi responden dalam penelitian ini pernah mengalami intimidasi psikologis. Bentuk intimidasi tersebut misalnya, kehadiran mereka dianggap tidak penting, pendapat mereka tidak dianggap serius dan tidak diberikan kesempatan bicara yang sama dengan anggota parlemen laki-laki.
Senator Filipina, Leila de Lima disebut sebagai perempuan tidak bermoral dan pezina lantaran mengkritik kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte.
Dua desa di Masisi, Kongo diserang kelompok militan Nduma Defense of Congo (Renove) dan Alliance of Patriots for a Free and Sovereign Congo (APCLS) dengan tuduhan warga desa memilih calon yang salah. Dikabarkan juga ada dua perempuan mengalami pemerkosaan saat penyerangan terjadi.
Kritik terhadap penguasa juga bisa membuat politisi perempuan kehilangan jabatan bahkan nyawa.
Hanya karena mengkritik wali kota, seorang anggota dewan lokal Bolivia, Juana Quispe didesak mundur oleh wali kota, pendukung wali kota dan banyak anggota dewan lokal. Juana dilarang menghadiri rapat dewan, diskors dan tidak digaji. Sebulan kemudian, ia ditemukan meninggal akibat dibunuh.
Data Komnas Perempuan 2018 yang dikutip oleh Magdalene menunjukkan bentuk kekerasan politik terhadap perempuan yang paling dominan adalah pembunuhan karakter melalui penyerangan bernuansa seksual di medsos. Hal ini pernah menimpa Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie pada September 2018, di mana foto-fotonya disunting sedemikian rupa hingga mengarah pada pornografi.
Pada Desember 2018, Komnas Perempuan kembali mendapat aduan dari seorang perempuan anggota tim sukses kampanye Pilgub DKI Jakarta yang nomornya disebar di tiga aplikasi daring serta foto yang ditandai sebagai "BO" (booking order), suatu istilah yang biasa dikenal dalam dunia prostitusi.