Disrupsi digital dalam industri media turut mengubah cara masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Dari yang awalnya mengonsumsi informasi melalui media cetak menjadi media elektronik dan daring. Kondisi ini akhirnya membuat oplah surat kabar semakin menurun yang juga berpengaruh pada pendapatan dan keuntungan media yang bersangkutan.Â
Media pun dituntut untuk berinovasi agar bisa beradaptasi meski membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, di sisi lain media harus mampu menjaga independensi dan kepercayaan publik di tengah tekanan dan tantangan zaman yang beberapa di antaranya adalah minimnya budaya baca dan tingginya minat menonton masyarakat, yang sayangnya belum dibarengi dengan tingkat literasi yang baik serta kompetisi antar media untuk menjadi yang pertama dan tercepat dalam menghadirkan informasi.Â
Temuan dari survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023 terhadap 1.203 responden di 38 provinsi menunjukkan sebanyak 70,2% responden mengaku masih mempercayai pemberitaan di media arus utama seperti televisi, radio, surat kabar cetak dan berita daring. Adapun 19,9% responden menyatakan tidak percaya dengan pemberitaan di media arus utama.Â
Media sosial yang menempati peringkat kedua dengan persentase 20,9% sebagai kanal sumber informasi yang paling dipercaya responden saat ini, tentu tak bisa dilepaskan dari rentannya penyebaran berita bohong dan disinformasi. Pemberitaan yang hanya ditampilkan secara singkat dan seringkali dipotong seenaknya, membuat konteks informasi tidak ditampilkan secara utuh sehingga dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan sesat.Â
Masyarakat pun menghadapi apa yang disebut sebagai tsunami informasi. Fenomena ini menjadi fenomena global yang menyebabkan publik menghindari pemberitaan (news avoidance) dan kelelahan terhadap berita (news fatigue). Reuters Digital News Report 2022 bahkan melaporkan sebanyak 48% publik global sudah tidak percaya lagi dengan berita dari media manapun.Â
Loyalitas pada Brand Bukan Lagi yang UtamaÂ
Survei Kompas tersebut juga menunjukkan bahwa kini publik tidak lagi menjadikan brand media sebagai pilihan utama dalam mempercayai pemberitaan. Alasan utama responden justru terletak pada sumber informasi dari pihak berwenang (data resmi, rilis lembaga, pernyataan tokoh) dengan persentase sebesar 34,7%.Â
Selain itu, publik lebih memilih mengkonsumsi informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, generasi Z yang lebih membutuhkan informasi tentang kemandirian finansial atau isu-isu lingkungan hidup.Â
Ketika media arus utama dirasa belum dapat memenuhi permintaan dan kebutuhan publik akan informasi yang semakin beragam, sebagian tidak ragu untuk beralih ke media alternatif yang dianggap lebih mampu mengakomodir isu-isu tertentu yang belum banyak diangkat oleh media arus utama.Â
Saya, misalnya, suka mengonsumsi informasi yang berkaitan dengan lingkungan dan krisis iklim, psikologi dan kesehatan mental, sejarah dan isu-isu perempuan. Kadang, informasi yang saya butuhkan tidak ditemukan di media arus utama. Kalaupun ada, informasinya kurang mendalam dan sudut pandangnya terbatas karena kurang beragamnya narasumber yang dimintai pandangan atau keterangan.Â
Alasan-alasan inilah yang mendorong saya untuk mengonsumsi informasi dari media alternatif di samping media arus utama. Belum lagi, di media alternatif, saya bisa menemukan sudut pandang lain yang berbeda, tidak biasa dan kadang cukup kontroversial. Dan saya senang ketika pandangan kontroversial itu ternyata relate dengan pilihan hidup, sikap atau pemikiran saya.Â