RKUHP yang sebelumnya mendapat penolakan dari masyarakat, ternyata telah diketok palu oleh DPR RI pada Selasa, 6 Desember 2022. Sejumlah pasal dinilai sebagai pasal karet yang berpotensi mengancam demokrasi.Â
Negara juga dinilai bertindak terlalu jauh dalam mengurusi ranah privat masyarakat, seperti yang tercantum dalam pasal 411 tentang perzinaan dan pasal 412 tentang kumpul kebo atau kohabitasi.
Keduanya termasuk dalam delik aduan sehingga hukuman pidana berlaku jika ada aduan dari suami atau istri (bagi yang terikat pernikahan) dan anak atau orangtua (bagi yang tidak terikat pernikahan).
Jika menggunakan kacamata agama, perzinaan dan kumpul kebo itu dosa. Jika menggunakan kacamata sosial-budaya, perzinaan dan kumpul kebo adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya ketimuran. Kedua hal ini tidak perlu dibahas lagi.
Yang ingin saya bahas di sini adalah bagaimana perzinaan dan kohabitasi dipandang dalam kacamata hukum.
Perlukah perzinaan dan kohabitasi yang merupakan urusan privat diatur dalam KUHP?
Asal-Usul Pasal Zina dalam KUHP Baru
Pengkaji Hukum Pidana dan Sejarawan Hukum, Sam Ardi mengungkapkan bahwa pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan privasi warga negara, termasuk tentang perzinaan dan kumpul kebo, awalnya mengacu pada Pasal 6 UU No.1 Tahun 1947, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berhubung bahasa baku yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda, banyak istilah yang kemudian disesuaikan dengan kondisi hukum dan masyarakat di Indonesia.
Masalahnya, KUHP yang ada saat ini merupakan hasil terjemahan individu atau institusi, bukan terjemahan secara resmi (de jure). Akibatnya, beberapa istilah diterjemahkan secara "mentah" ke bahasa Indonesia sehingga jadi kurang pas.
Salah satu istilah yang diterjemahkan secara "mentah" adalah overspel, yang kemudian diterjemahkan sebagai zina. Padahal zina punya cakupan makna yang lebih luas ketimbang overspel.