Lalu, benarkah street harassment, seperti catcalling hanya ditujukan kepada perempuan yang cantik atau seksi?Â
Tidak selalu seperti itu.
Saya melihatnya lebih kepada tentang relasi kuasa dan cara pandang yang seksis terhadap tubuh perempuan.Â
Ada perasaan lebih superior, dominan dan ego maskulin yang mendorong laki-laki untuk melakukan catcalling. Ditambah cara pandangnya yang menganggap tubuh perempuan sebagai objek inferior dan submissive yang harus tunduk pada kehendak dan hasrat laki-laki.Â
Tak ada hubungannya juga dengan pakaian yang dikenakan. Sebab, saya pernah di-catcall di jalan dan transportasi umum meski sudah berpakaian tertutup, tidak menerawang dan membentuk lekuk tubuh.Â
Ketika saya mengalaminya sewaktu SMP dan SMA, saya sempat berpikir apakah itu terjadi karena saya tidak berjilbab (meski belum berjilbab, saya tidak pernah pakai seragam atau pakaian ketat dan minim). Namun, ketika saya sudah berjilbab, ternyata masih bisa kena catcalling juga.Â
Beberapa orang yang menormalisasi catcalling menganggap bahwa catcalling tidak berbahaya. Ada pula yang menganggap itu sebagai candaan atau ekspresi ketertarikan terhadap seseorang yang dinilai menarik secara fisik.Â
Sayangnya, anggapan tersebut keliru.Â
Jika alasannya adalah yang kedua, alih-alih merupakan ekspresi ketertarikan, catcalling bukan tindakan yang sopan. Yang ada malah orang merasa tidak nyaman.Â
Jika alasannya adalah yang pertama, mari saya ingatkan Anda pada kasus Yuyun, gadis 14 tahun yang meninggal akibat diperkosa beramai-ramai oleh sekelompok laki-laki saat ia di perjalanan pulang sekolah. Apa yang Yuyun alami juga bermula dari catcalling.Â
Jadi, catcalling, meski hanya berupa ucapan, siulan, tatapan atau lirikan nakal, tidak menutup kemungkinan jika di kemudian hari akan berkembang menjadi tindakan yang lebih parah, termasuk pemerkosaan.Â