Dulu, isu kesehatan mental mungkin adalah hal yang asing. Saat ini Isu kesehatan mental telah menjadi concern bagi banyak anak muda generasi milenial dan Z. Akses ke konten-konten media sosial turut memicu kesadaran anak-anak muda tentang kesehatan mental.
Mereka juga fasih menyebut istilah-istilah yang terkait dengan kesehatan mental, seperti overthinking, gangguan kecemasan (anxiety disorder), gangguan makan (eating disorder), bipolar, self-love dan sebagainya.
Sayangnya, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental ini kadang belum dibarengi dengan pemahaman yang benar. Akibatnya, mereka jadi mudah melakukan self-diagnose hanya bermodal informasi dari Mbah Google, terjebak pada pemahaman yang keliru dan mengglorifikasi serta meromantisasi gangguan kesehatan mental.
Capek karena beban kerja yang menumpuk, bos yang galak dan rekan kerja yang kelakuannya suka ngerujak ati, mengaku depresi. Mood gampang berubah, mengaku bipolar. Dilarang main di atas jam 10 malam, orangtuanya langsung dicap strict parents. Akhirnya, istilah-istilah tersebut malah jadi overused sehingga melenceng dari makna aslinya.
Salah satu istilah yang juga overused dan kerap disalahpahami adalah self-healing.
Bilangnya self-healing, ternyata lagi staycation di hotel. Katanya self-healing, ternyata lagi liburan ke Bali. Mengaku self-healing, ternyata habis shopping.
Ini self-healing atau self-reward?
Jika diartikan ke bahasa Indonesia, self-healing artinya penyembuhan diri sendiri. Lingkup penyembuhan ini pun cukup luas, bisa berarti penyembuhan jiwa, batin, perasaan maupun pikiran.
Oleh karena itu, self-healing dapat diartikan sebagai proses penyembuhan luka batin yang mengganggu emosi.
Sumber dari luka batin ini bermacam-macam, umumnya terkait dengan peristiwa buruk yang pernah dialami, misalnya kehilangan orangtua, kegagalan meraih sesuatu yang dicita-citakan, patah hati dan masalah lain di masa lalu yang menimbulkan trauma.