Baru-baru ini, kita dikejutkan kembali dengan kabar kekerasan yang berujung pada meninggalnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), Ponorogo, Jawa Timur. Santri berinisial AM tersebut diduga meninggal dunia akibat dianiaya oleh seniornya.Â
Sang ibu yang diberitahu bahwa AM meninggal akibat kelelahan setelah berkemah merasa curiga kalau ada yang ditutup-tutupi dari kematian anaknya. Hal itu lantaran kain kafan sang anak yang sampai harus diganti karena ada darah merembes pada kain kafannya.Â
Kasus kekerasan merupakan salah satu aib dan dosa yang mencemari iklim akademis dunia pendidikan kita. Institusi pendidikan yang sejatinya tempat untuk mendidik dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seolah tak lebih dari sarang penjahat.Â
Bukan hanya di sekolah asrama, sekolah non asrama pun tidak luput dari adanya kasus kekerasan. Mulai dari perundungan, tawuran antar pelajar hingga pelecehan seksual.Â
Bicara tentang kekerasan dalam dunia pendidikan biasanya kita akan mengaitkan atau berkutat pada sistem atau aturan. Namun sebenarnya hal ini bisa kita tarik jauh lebih dalam lagi ke maskulinitas toksik yang entah sadar atau tidak telah ditanamkan sejak usia dini dan ketidakterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.Â
Bagaimana relasi antara ketiganya?Â
Sebelum sampai ke sana, mari kita pahami dulu apa itu maskulinitas toksik.Â
Maskulinitas toksik adalah istilah yang merujuk pada dampak negatif dari sikap berpegang teguh pada karakteristik maskulin, ditambah dengan penekanan pada kejantanan yang didefinisikan sebagai kekerasan, seks, status, dominasi, ketangguhan dan agresi.Â
Pada dasarnya, setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai sifat-sifat maskulin dan feminin dalam dirinya.Â