Sementara itu, setiap 20 surat elektronik (surel) yang masuk atau terkirim selama 1 tahun dapat menghasilkan emisi CO2 yang setara dengan perjalanan mobil sejauh 1.000 km.
Streaming atau menonton video di YouTube menghasilkan 1 gram CO2 per 10 menit. Menonton film di Netflix dalam waktu 1 tahun menghasilkan emisi karbon sebanyak 95,2 kg CO2.
Bekerja dari rumah (WFH) dan melakukan rapat virtual melalui aplikasi Zoom selama 5 jam per hari dalam waktu 3 bulan menghasilkan 32,14 kg CO2. Itu sebabnya disarankan untuk mematikan kamera selama rapat virtual agar dapat mengurangi jejak karbon hingga 96%.
Sebuah situs perbandingan pasar asal Australia, Compare the Market juga merilis daftar emisi karbon yang dihasilkan oleh media sosial.Â
Dari 10 media sosial yang diteliti, TikTok menempati urutan pertama sebagai media sosial yang paling banyak meninggalkan jejak karbon, yaitu 2,63 gram CO2 ekuivalen per menit (grCO2Eq/menit).
Medsos berbagi foto dan video, Instagram, menempati urutan keempat dengan jejak karbon yang dihasilkan mencapai 1,05 grCO2Eq/menit.
Tiga peringkat terbawah untuk medsos dengan jejak karbon paling kecil, berturut-turut dipegang oleh Twitter (0,69 grCO2Eq/menit), Twitch (0,55 grCO2Eq/menit) dan YouTube (0,46 grCO2Eq/menit).
Wasana Kata
Kita memang tidak bisa menolak perkembangan teknologi. Lagipula teknologi telah banyak membantu mempermudah aktivitas kita sehari-hari. Namun, perkembangan teknologi tidak seharusnya mengorbankan sisi ekologis.
Perubahan seharusnya dilakukan pula oleh para produsen, terutama industri ponsel pintar atau gawai untuk menghentikan kompetisi 'siapa yang paling cepat atau lebih banyak mengeluarkan model terbaru' demi menekan jumlah sampah elektronik.
Jika kita tak punya kekuatan atau pengaruh untuk mengubah mindset para produsen teknologi, setidaknya kita ubah mindset dan sikap kita dalam membeli dan menggunakan teknologi untuk mengurangi jejak karbon digital.
Apa saja yang bisa kita lakukan? Saya akan bahas di artikel berikutnya.