Sebenarnya Indonesia punya banyak pahlawan perempuan, baik yang berjuang di medan perang maupun yang berjuang dengan pemikiran. Namun, dari sekian banyak pahlawan perempuan yang kita kenal, mengapa hanya Kartini yang hari kelahirannya diperingati secara khusus oleh masyarakat Indonesia?
Berbagai tulisan mempertanyakan dan mengkritisi titel pahlawan emansipasi yang selama ini disematkan pada Kartini.
Kita tahu bahwa Kartini dikenal memiliki keinginan besar untuk bisa mengenyam pendidikan dan mendirikan sekolah meski cita-cita tersebut gagal.
Memang, saat itu berdiri Sekolah Kartini, tapi Kartini bukan pendirinya. Adalah Conrad T. van Deventer, seorang juru bicara Politik Etis dan anggota Parlemen Belanda, yang berada di balik pendirian Sekolah Kartini. Lagipula, sekolah itu baru berdiri tahun 1913 atau 9 tahun setelah wafatnya Kartini.
Di Jawa Barat malah telah lebih dulu berdiri Sakola Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1903. Selain mendirikan sekolah, Dewi Sartika juga menulis buku berbahasa Sunda yang berjudul "Kaoetamaan Istri" pada tahun 1911 dan diterbitkan tahun 1912.
Ketika perempuan Jawa masih terbelenggu adat pingitan, perempuan-perempuan di Sulawesi Utara lebih merdeka untuk bersekolah dan berorganisasi. Dua tahun setelah Kartini lahir, di Tomohon telah berdiri sekolah berasrama bagi anak perempuan yang disponsori oleh seorang pendeta Belanda, Ds. Jan Louwerier. Meski didirikan oleh orang Belanda, kesadaran para perempuan Tomohon untuk berpendidikan sudahtinggi.
Tahun 1867 dibentuklah sebuah organisasi perempuan bercorak agama yang bernama Perkumpulan Perempuan Kristen Tondano. Baru pada tahun 1918, Â Walanda Maramis, seorang pribumi Minahasa, mendirikan Sekolah Kepandaian Puteri (PIKAT).
Dalam surat-suratnya, Kartini beberapa kali menyatakan bahwa ia membenci poligami. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada 6 November 1899 berikut.
"Aku sekali-kali tiada dapat menaruh cinta. Kalau hendak cinta, pada pendapatanku haruslah ada rasa hormat dahulu. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya mengatakan itu dosa."Â