Banyak orang masih berpikir bekerja sebagai petani atau berkecimpung di bidang pertanian itu tidak menjamin kemapanan. Hal yang sama juga berlaku untuk sektor perikanan, peternakan, dan perkebunan. Padahal semua itu merupakan sektor-sektor penting yang menunjang hajat hidup orang banyak.Â
Sebuah temuan yang disampaikan oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian menunjukkan jumlah petani muda usia 20-39 tahun hanya 2,7 juta orang atau sekitar 8% dari total petani di seluruh Indonesia. Itu artinya profesi petani masih didominasi oleh orang-orang tua. Berbagai media juga menyebutkan bahwa Indonesia terancam krisis petani dalam beberapa tahun ke depan.
Di desa, alih-alih menjadi petani, anak-anak mudanya lebih memilih merantau ke kota untuk bekerja sebagai buruh pabrik, asisten rumah tangga, pedagang, kuli bangunan bahkan tidak sedikit pula yang bekerja sebagai tukang ojek.
Sarjana Pertanian yang diharapkan menjadi garda terdepan pembangunan dan kemajuan pertanian sebagian besarnya lebih memilih menjadi PNS, pegawai BUMN, dan pegawai kantoran swasta. Sedikit sekali yang berminat menjadi petani.
Sebenarnya apa yang menyebabkan anak muda enggan menjadi petani?
Pertama, profesi petani dianggap kurang bergengsi dan tidak memberi jaminan pendapatan yang memadai
Tidak seperti PNS atau pegawai kantoran swasta yang memiliki gaji tetap bulanan berikut tunjangan-tunjangan, pendapatan yang diperoleh petani tiap bulannya tidak menentu. Kalau panen berlimpah dan harga di pasaran bagus, petani bisa untung. Kalau gagal panen, ya bisa rugi.
Masih banyak yang mengidentikkan profesi petani dengan kemelaratan. panas-panasan, dan kotor sehingga dinilai kurang bergengsi dibanding mereka yang bekerja di kantor.
Karena hal-hal itulah, banyak juga orangtua yang tidak mengizinkan anaknya menjadi petani.Â
Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak pro petani