(1)
Inilah bumi kami. Karya agung Sang Khalik dengan barisan gunung berapi, bentangan panjang garis pantai, hutan-hutan nan asri, rumah bagi hewan-hewan eksotis dan berbagai keanekaragaman hayati.Â
(2)
Disinilah kami berdiri menyambut matahari. Menyerahkan diri pada pagi demi harapan-harapan baru setiap hari. "Disini kami lahir, disini kami mati".Â
(3)
Bumi kami adalah pecahan surga. Gunung-gunung menjadi hulu dari mata air mata air yang mengalirkan kebahagiaan dan kehidupan. Benih-benih yang disemai menumbuhkan bulir-bulir kebaikan. Anak-anak manusia memanfaatkannya demi menyambung nyawa.Â
(4)
Sayangnya, bumi kami dijual demi mendulang cuan. Pemilik modal bersekutu dengan penguasa culas untuk menghisap darah rakyat.Â
(5)
Tambang-tambang berdiri, mengeruk habis isi perut bumi. Laut dan sungai tercemar timbal dan merkuri. Sampah-sampah dibuang sesuka hati. Ikan-ikan mati. Paru-paru kami disesaki polusi.Â
(6)
Akar-akar pohon tak cukup kuat menahan laju air. Hutan-hutan dibabat, beralih jadi perkebunan sawit. Villa-villa tampak jumawa di bukit-bukit, mencaplok kawasan ekologi.Â
(7)
Ketika hujan deras mendera semua hilang dan mati tersapu air bah. Menyisakan kehilangan yang akan terekam dalam ingatan.Â
(8)
Ibu Pertiwi merintih akibat perangai anak-anaknya yang taktahu terima kasih. Manusia-manusia berakal yang enggan berpikir. Merasa diri lebih tinggi dan hanya peduli pada kepentingan pribadi.
20/09/2021
*) Edisi nekat menulis prosa liris lingkungan padahal nggak bisa nulis prosa liris yang bagusÂ