Karena kita terbiasa mewajarkan segala bentuk pelecehan seksual berikut pelakunya, korban pelecehan yang mencoba speak up akan ditekan dan dipaksa untuk give up. Kasus yang terjadi di KPI Pusat itu salah satu contohnya.
Kejadiannya kapan, ditanggapinya nunggu viral. Ketika melapor ke polisi pun korban masih sering mendapat pertanyaan yang menyudutkan dan tidak simpatik. Speak up di media malah berbuah perisakan.
Di masyarakat, korban pelecehan seksual bukannya dibela dan didukung untuk memulihkan trauma atau mencari keadilan malah dikucilkan, dibicarakan di belakang, diusir dari kampungnya, dianggap tidak bermoral dan sampah masyarakat. Korban yang disalahkan karena dianggap telah memancing pelaku untuk melakukan pelecehan.
Sudah jatuh tertimpa tangga diinjak-injak pula. Bisakah Anda bayangkan bagaimana perasaan korban?
Sementara pelaku yang sudah jelas-jelas salah masih bisa melenggang bebas.
Jika si pelaku orang kaya, terkenal, punya kekuasaan atau minimal dekat dengan lingkaran kekuasaan, ia bisa saja menyuap penegak hukum agar dirinya diloloskan dari hukuman. Pelaku juga bisa balik melaporkan korban dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Kalau sudah begini namanya kriminalisasi korban.
Atau bisa juga pakai cara instan tapi pengecut, yaitu diakhiri secara "kekeluargaan".
Mengapa Masyarakat Masih Mewajarkan Pelecehan Seksual?
Pertama, adanya ketimpangan relasi kuasa, di mana salah satu pihak merasa lebih superior (baca: pelaku) dibanding korbannya sehingga dapat mengintimidasi, mengancam dan melakukan kekerasan. Misalnya, dosen kepada mahasiswa, atasan kepada bawahan, karyawan senior kepada karyawan junior, suami kepada istri dan sebagainya.
Ketimpangan ini ditopang oleh budaya patriarki yang melanggengkan nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis. Oleh karena itu, segala hal tentang perempuan dan feminitas selalu ditempatkan di bawah kepentingan laki-laki dan apapun yang mewakili maskulinitas. Dan pelecehan seksual adalah salah satu cara yang dilakukan oleh laki-laki untuk menunjukkan dominasinya atas perempuan.
Kedua, penafsiran agama yang bias gender
Dalam agama Islam, ada ayat yang biasanya dijadikan "senjata" oleh laki-laki, terutama suami, untuk bersikap sewenang-wenang terhadap istri.Â