Oleh karena itu, kita harus cermat dan kritis dalam memaknai self-love dan self-acceptance ini. Nah, supaya kita tidak salah kaprah, kita perlu memahami tiga hal dasar berikut terkait self-love dan self-acceptance.
Pertama, self-love tidak sama dengan narsis. Self acceptance tidak sama dengan menyerah
Tidak ada definisi baku perihal self-love dan self-acceptance. Self-love atau mencintai diri dapat dikatakan sebagai suatu kondisi ketika kita dapat menghargai dan mengapresiasi diri sendiri secara utuh.
Self-acceptance atau penerimaan diri adalah suatu kondisi ketika kita bisa menerima dan jujur mengenai diri sendiri.
Self-love dan self-acceptance itu sepaket. Ketika seseorang bisa menerima dan jujur mengenai kelemahan, kelebihan, kondisi atau apapun yang ada dalam dirinya, ia pasti bisa mencintai diri sendiri.
Orang yang mampu mencintai diri sendiri akan mampu menerima cinta dari orang lain sekaligus mampu memberikan cinta pada orang lain sebagai timbal balik.
Mengapa demikian?
Karena orang yang tidak mampu mencintai diri sendiri, hidupnya akan selalu dihantui oleh perasaan tidak aman. Ia selalu merasa dirinya "kurang" atau buruk dalam segala hal sehingga merasa tidak pantas untuk dicintai.
Saat ada masalah, orang yang tidak mampu mencintai diri sendiri akan memilih lari dan menghindar daripada menghadapi dan menyelesaikannya. Hal ini membuat hubungan dengan orang-orang di sekitarnya menjadi tidak sehat.
Sementara orang yang narsis adalah mereka yang mencintai dirinya secara berlebihan, cenderung egois dan merasa paling benar. Jadi, jelas ya, bahwa self-love itu beda dengan narsis.
Self-acceptance juga jangan diartikan bahwa kita boleh menyerah pada keadaan.Â
Self-acceptance itu tetap menuntut adanya usaha dan perubahan ke arah kebaikan. Jangan mentang-mentang namanya "penerimaan diri" lantas dikira kita tidak perlu melakukan apa-apa.