Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sindrom Upik Abu, Ketika Perempuan Takut Menjadi Mandiri

6 Juli 2021   12:37 Diperbarui: 20 Juli 2021   15:31 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dongeng Cinderella atau Upik Abu (dalam versi bahasa Indonesia) | sumber gambar: exploringyourmind.com

Pemahaman akan makna feminitas yang sempit telah membuat perempuan merasa cemas akan kesuksesan dan takut akan kemandirian. 

Ambisi, ketegasan, keberanian dan kemandirian perempuan dianggap menghilangkan esensi dari feminitas itu sendiri. Seolah-olah perempuan dengan karakteristik demikian merupakan perempuan yang kurang feminin.

Sindrom Upik Abu tidak hanya dialami oleh perempuan yang terbiasa dimanja oleh orangtuanya atau yang orangtuanya terlalu protektif, tetapi juga kepada mereka yang kurang kasih sayang dari orangtua, terutama ayahnya. Hal ini akan mengakibatkan anak perempuan mencari kasih sayang dan perhatian dari banyak laki-laki di luar sana, sekali pun usia laki-laki itu terpaut sangat jauh dengan usianya.

Jika ia menemukan laki-laki yang tepat, tentu tidak masalah. Tapi bagaimana jika hal itu malah mengantarkannya pada hubungan yang beracun (toxic relationship)? Karena salah satu sebab perempuan terjebak bahkan sulit keluar dari hubungan yang beracun adalah adanya perasaan ketergantungan terhadap pasangan. Dan sayangnya ini bukanlah ketergantungan yang mutually dependent on the other (saling bergantung satu sama lain).

Kalau begitu, apakah salah jika seorang perempuan menginginkan laki-laki yang bersifat perhatian dan bertanggung jawab sebagai pasangan hidupnya?

Tentu saja tidak. Semua orang berhak memiliki tipe ideal mengenai calon pasangannya kelak.

Tapi betapa pun perhatian, tanggung jawab dan sifat ngemong dari pasangan Anda, bukan berarti sikap Anda yang terlalu bergantung (too dependent) itu bisa dibenarkan.

Wasana Kata

Sikap mandiri berlaku untuk siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Apapun status perkawinan, sosial dan ekonominya.

Perempuan yang menjalankan peran rumah tangga tradisional sebagai seorang ibu rumah tangga, bukan berarti tidak bisa mandiri. Banyak pula yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan bahagia dan memiliki hubungan yang sehat dengan pasangan. 

Dalam keadaan sulit pun ia mampu menghadapi, memecahkan kesulitan dan membuat keputusan terbaik bersama suaminya. Bukan hanya melimpahkan segala beban dan menyerahkan semua keputusan di tangan pasangan.

Kemandirian tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai feminitas. Tidak pula membuat Anda menjadi kurang feminin atau "kurang perempuan"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun