Di titik itulah saya kembali menulis. Meskipun hanya di buku diary. Tapi saya merasa lega setelah melakukannya. Rasanya seperti nostalgia dengan masa-masa kecil dan remaja dulu ketika masih suka menulis diary. Bahkan pernah punya diary bersama antara saya dengan tiga sahabat saya semasa sekolah.
Singkat cerita, di pertengahan tahun 2019, saya menemukan Kompasiana, sebuah blog warga dengan banyak anggota (disebut Kompasianer) dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang agama, suku, profesi, pendidikan dan sebagainya. Saya pikir itu menarik dan bergabunglah saya di rumah besar Kompasiana hingga saat ini.
Saya yang saat itu belum "sembuh" benar dari keterpurukan, menjadikan Kompasiana sebagai diary digital tempat saya melampiaskan emosi. Waktu itu memang belum ada sub kategori "Diary" seperti sekarang. Tapi kalau sudah ada pun, tidak mungkin lah saya ceritakan masalah dan keluhan saya secara gamblang haha.
Jadi, saya "samarkan" saja (kalau masih ketahuan juga ya sudah) dengan merangkai puisi ala kadarnya. Begitulah saya memulai debut sebagai Kompasianer.
Saya sempat iseng menghitung, awal-awal bergabung, sepanjang 2019, dari 88 tulisan saya di Kompasiana 72 di antaranya adalah puisi yang isinya adalah luapan rasa sakit, sedih, marah, penyesalan dan kekecewaan saya pada diri sendiri, orang-orang dan keadaan pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu dan sembuhnya luka-luka masa lalu, apakah saya masih menganggit puisi-puisi pilu?
Oh, tentu masih haha. Tapi tidak sesering dulu. Walaupun masih saya lakukan, setidaknya keadaan saya sekarang jauh lebih baik dan bahagia.
Walaupun puisi saya pilu, sendu, galau dan kinda dark gitu, tapi tidak semuanya bertema romansa dan patah hati. Ada juga yang tentang keagamaan, pelajaran-pelajaran hidup bahkan sosial-politik seperti puisi berikut ini.
Sekarang saya lebih banyak menulis artikel panjang biar lebih gampang dapat banyak pembaca dan K-Reward yang bersumber dari keresahan atau pertanyaan-pertanyaan iseng dalam kepala.
Biasanya keresahan atau pertanyaan-pertanyaan itu muncul setelah membaca (termasuk blog walking ke beberapa artikel Kompasianer). Bisa juga setelah mengalami suatu kejadian, menonton sebuah tayangan (berita, film, video dan lain-lain) atau mendengar lagu. Pokoknya dari siapa dan apa saja.
Kemudian saya akan merenungkannya sejenak. Menangkap pesan, baik yang implisit maupun eksplisit. Ketika timbul keresahan atau pertanyaan, saya akan catat dulu di buku agenda yang biasa saya bawa kemana-mana atau di notes HP. Itulah ide yang berpotensi jadi karya, yang bisa saya eksekusi kapan saja. Tidak harus menunggu saat saya sedang merasakan emosi-emosi tertentu. Saya hanya harus pintar-pintar cari kesempatan dan menyisihkan waktu untuk menuliskannya.