Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Sebenarnya Berpendidikan Itu untuk Mencari Pekerjaan atau Memperdalam Ilmu agar Bisa Membuat Perubahan?

25 Mei 2021   12:52 Diperbarui: 20 Juni 2022   06:04 3047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orangtua sering berpesan kepada kita saat masih kecil untuk rajin belajar agar kelak menjadi orang sukses. Kesuksesan itu juga kerap dikaitkan dengan memperoleh pekerjaan-pekerjaan tertentu---yang ditengarai membuat kita mapan atau setidaknya memiliki penghasilan tetap---seperti dokter, polisi, tentara, guru, insinyur, pengacara dan sebagainya.

Tentu tidak ada yang salah dengan harapan orangtua pada anak-anaknya. Tidak ada orangtua yang berharap anak-anaknya gagal.

Begitu pula ketika kita berada di fase menjelang kelulusan kuliah dan fresh graduate. Mendapatkan pekerjaan impian di perusahaan atau instansi yang mentereng menjadi impian mereka yang baru lulus perguruan tinggi.

Sekali lagi, hal ini juga sah-sah saja. Karena selepas kuliah, seorang anak seharusnya sudah bisa mandiri dan mengurangi ketergantungan pada orangtuanya. Minimal mandiri secara finansial.

Pendidikan tinggi yang diraih seseorang memang kerap dikaitkan dengan pekerjaan yang layak dan masa depan yang lebih baik. 

Kita juga tidak dapat memungkiri bahwa ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan latar belakang pendidikan dan keahlian khusus sehingga tidak sembarang orang bisa melakoni pekerjaan tersebut.

Namun, pernahkah Anda berpikir, apakah benar tujuan kita berpendidikan hanya agar bisa memperoleh pekerjaan atau kenaikan jabatan semata? Mungkinkah ada orang yang melanjutkan kuliah hingga S2 bahkan S3, namun hanya untuk memperdalam suatu bidang ilmu dan tidak ada hubungannya dengan kerja atau kenaikan jabatan?

Untuk pertanyaan kedua, Anda bisa temukan jawabannya di artikel ini.

Jawaban untuk pertanyaan pertama, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: jawaban versi normatif dan jawaban versi idealis.

Jawaban versi normatif dari pertanyaan tersebut biasanya berbunyi, "Susah-susah kuliah, punya ijazah kalau ujung-ujungnya nggak dipakai buat kerja, trus buat apa?" Dan jawaban lain yang senada.

Jawaban ini tidak salah. Ini realistis. Percayalah.

Sementara jawaban versi idealis menyatakan bahwa berpendidikan itu tujuannya agar kelak dapat membuat perubahan di tengah masyarakat yang "sakit" dan memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama.

Jawaban ini juga benar.

Entah untuk memanaskan suasana atau apa, biasanya ada yang membalas, "Ngapain sih masih sok idealis, idealisme doang nggak bisa bikin kenyang." Dan perdebatan pun dimulai.

Tapi, kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Di dunia ini mana ada yang gratisan?

Pendidikan yang Memerdekakan Manusia

Ilustrasi Ki Hajar Dewantara yang mencetuskan konsep pendidikan yang memerdekakan kehidupan manusia | sumber gambar: edukasi.kompas.com
Ilustrasi Ki Hajar Dewantara yang mencetuskan konsep pendidikan yang memerdekakan kehidupan manusia | sumber gambar: edukasi.kompas.com
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, telah mencetuskan konsep pendidikan yang memerdekakan kehidupan manusia. Artinya, pendidikan harus bersandar pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat.

Beliau juga memandang manusia pada sisi psikologisnya sebagai individu yang memiliki daya jiwa, yaitu cipta, rasa, karsa dan karya. Pengembangan daya jiwa ini harus dilakukan secara seimbang untuk mengembangkan manusia menjadi seutuhnya manusia.

Menitikberatkan pengembangan manusia hanya pada salah satu daya jiwa dan mengabaikan yang lain mengakibatkan manusia tidak berkembang secara utuh. Alhasil, manusia menjadi seperti robot atau mesin.

Masalahnya, pendidikan saat ini lebih banyak menekankan pada daya cipta atau intelektual semata dan kurang memperhatikan rasa, karsa dan karya. 

Hal itu menciptakan individu-individu yang egois dan tidak akrab dengan problematika sosial di sekitarnya. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang kurang humanis atau manusiawi.

Maka, jangan heran ketika ada orang berpendidikan dengan gelar berderet tapi selalu merasa diri lebih pintar, tidak memiliki rasa belas kasih bahkan tanpa rasa bersalah memperkaya diri dengan merampok uang negara.

Pendidikan Mempersiapkan Kita untuk Dapat Menghadapi Kehidupan

Pendidikan, dalam bentuk apapun, sebenarnya bertujuan untuk mempersiapkan manusia agar dapat memenuhi tiga aspek, yaitu: kehidupan (pribadi), pekerjaan, dan kewarganegaraan.

Pada ranah pribadi, pendidikan dapat membentuk sikap dan pola pikir. Dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Dari yang belum baik menjadi lebih baik.

Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pendidikan merupakan jalan untuk mempelajari dan memperdalam suatu bidang ilmu atau kompetensi tertentu yang dapat diterapkan di dunia kerja.

Sementara di ranah kewarganegaraan, pendidikan bertujuan untuk membangun peradaban bangsa yang maju dan berkarakter. 

Itulah sebabnya kita butuh adanya pembangunan manusia melalui pendidikan yang mampu mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual secara seimbang.

Menempuh pendidikan agar kelak dapat memperoleh pekerjaan yang layak sebenarnya tidak salah. Karena setiap orang memang butuh bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Toh, kita masih bisa  belajar sesuatu dari pekerjaan yang kita lakoni.

Kita juga bisa kok menciptakan perubahan di sekitar kita melalui pekerjaan.

Yang bekerja sebagai guru atau dosen bisa menerapkan pola pengajaran dan pendidikan yang melatih peserta didik untuk berpikir kritis dalam memandang permasalahan sekaligus aktif dan kreatif mencari solusi. Bukan malah menempatkan diri sebagai yang paling pintar dan tahu segalanya.

Yang bekerja sebagai pengusaha bisa menciptakan perusahaan yang mampu menerapkan kesetaraan antara pekerja laki-laki dan perempuan sehingga nantinya tidak ada pekerja perempuan yang merasa kariernya mentok karena perusahaan tidak pernah memberinya kesempatan.

Yang bekerja sebagai pelayan masyarakat, manfaatkanlah profesi dan jabatan Anda untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Tahu diri sedikitlah, sudah dibayar pakai uang rakyat kok malas-malasan dan keluyuran di jam kerja.

Yang salah adalah ketika kita menempatkan pendidikan hanya sebagai sarana menaikkan strata sosial dan ajang mencari ijazah.

Hal ini akan mereduksi tujuan dan makna pendidikan itu sendiri menjadi pendidikan yang berwatak pasar. Pendidikan yang berwatak pasar menempatkan lembaga pendidikan tak ubahnya sebuah pabrik ijazah dan gelar yang melayani kepentingan dan tuntutan industri semata. Padahal pendidikan punya tujuan dan makna yang jauh lebih krusial dari sekadar urusan mencari kerja, kenaikan jabatan dan hal-hal lain yang sifatnya materil belaka. 

*) Artikel ini ditulis bukan oleh praktisi pendidikan sehingga apabila ada kekeliruan mohon dikoreksi. Terima kasih.  

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun