Puasa seharusnya menjadi saat yang tepat untuk melatih kebiasaan baru dan membuang atau menghentikan kebiasaan buruk.
Salah satu kebiasaan buruk yang sering dan terasa nikmat dilakukan secara berjamaah adalah ghibah atau menggunjing atau bergosip.
Entah itu saat sedang belanja di tukang sayur, di kantor saat jam istirahat, di kafe saat sedang nongkrong dengan teman-teman, selalu saja ada satu dua orang yang memprovokasi atau memancing kita untuk ngomongin orang.
Kita yang sedang terjebak bersama mereka kadang merasa dilema. Mau ditinggal tapi  takut dikira sombong. Mana kepo juga. Tapi kalau kita ikut nimbrung, malah dosa.
Nah, memangnya kenapa sih ghibah itu dilarang? Bagaimana caranya menghindar biar kita tidak terjebak pada dosa ghibah? Lalu, adakah ghibah yang diperbolehkan?
Mari kita awali pembahasan ini dengan sebuah kisah yang terjadi pada umat Nabi Musa.
Alkisah pada zaman Nabi Musa pernah terjadi paceklik. Terjadilah bencana kekeringan sehingga sulit menemukan air.
Nabi Musa dan kaumnya bermunajat kepada Allah minta agar diturunkan hujan. Namun, bukannya turun hujan, langit malah makin terang dan panas makin terik.
Kemudian turunlah wahyu Allah kepada Nabi Musa, menyampaikan bahwa ada di antara pengikutnya yang telah membangkang kepada Allah selama lebih dari empat puluh tahun. Dan Allah akan menurunkan hujan kepada mereka asalkan si pendosa ini memisahkan diri dari perkumpulan tersebut.
Nabi Musa segera memberitahukan hal ini kepada kaumnya.
Mendengar hal itu, si pendosa merasa dilema. Jika ia tidak memisahkan diri dari perkumpulan, mereka semua akan mati kehausan. Tapi jika ia memisahkan diri, selamanya orang-orang akan mengolok-olok dirinya.
Akhirnya ia mulai mengiba, memohon ampunan kepada Allah dengan ketulusan dan kerendahan hati yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
"Ya Allah, kasihanilah aku! Ya Allah, sembunyikan dosa-dosaku! Ya Allah, Maafkan aku!" batinnya merintih.
Air matanya mengalir. Ia menyesali dosa-dosanya.
Ketika Nabi Musa dan kaumnya masih menunggu si pendosa berdiri dan melangkah, tiba-tiba langit mendung dan hujan turun dengan lebat.
Nabi Musa pun berseru, "Ya Allah, Engkau memberkati kami dengan hujan meskipun orang berdosa itu tidak menampakkan diri."
"Wahai Musa, orang itu sudah mengungkapkan penyesalannya. Dan untuk penyesalan orang itulah Aku memberkati seluruh Bani Israel dengan air," jawab Allah.
"Siapakah orang itu, ya Allah?" Nabi Musa  penasaran.
Allah berfirman, "Aku menyembunyikan dosa-dosanya selama empat puluh tahun, apakah patut setelah dia bertobat Aku akan mengumbarnya?"
Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut?
Dari kisah tersebut kita belajar bahwa Allah saja menutupi aib hamba-Nya. Kenapa kita yang berstatus hamba Allah malah mengumbar aib sesama?
Jadi, jika selama ini kita dipandang baik dan alim oleh orang lain, itu semata-mata karena Allah telah menutupi aib kita.
Bahkan bagi siapa pun yang menutupi aib orang lain, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat kelak.
Coba kalau dosa atau aib kita bisa menjelma menjadi sesuatu yang tampak. Jadi bisul, misalnya.Â
Maka, bisa dibayangkan, berapa banyak bisul yang akan muncul di tubuh kita? Dan orang pasti akan jijik melihatnya.
Selain itu, dikatakan juga perumpamaan orang yang melakukan ghibah itu adalah seperti memakan bangkai saudaranya sendiri.
Bangkai saja sudah nampak menjijikkan. Apalagi kalau itu Anda makan. Bangkai saudara sendiri pula.
Tapi kenapa sih orang doyan banget ghibah?
Menurut Imam Ghazali, seseorang menyukai ghibah itu sebenarnya adalah orang yang hatinya dipenuhi rasa iri dan dengki. Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang.
Mereka juga punya rasa percaya diri yang rendah sehingga suka membicarakan aib orang lain agar dirinya terlihat lebih unggul dari orang yang dighibahin.
Namun ada juga ghibah yang diperbolehkan dalam agama.
Pertama, ghibah dalam rangka mengadukan kezaliman
Misalnya, orang yang menjadi korban kejahatan lalu mengadukan kejahatan yang dilakukan pelaku ke pihak berwajib.
Kedua, ghibah dalam rangka meminta bantuan untuk menghindari kemunkaran
Ketiga, ghibah dalam rangka untuk meminta fatwa
Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh Hindun binti 'Utbah, istri Abu Sufyan.
Hindun pernah mengadukan kepada Nabi Muhammad Saw perihal suaminya yang pelit dan tidak memberi nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia ingin meminta fatwa dari Rasulullah Saw mengenai tindakannya yang mengambil uang suaminya tanpa izin akibat tidak diberi nafkah yang cukup. Rasulullah pun membolehkan dengan catatan hanya untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya.
Keempat, ghibah dalam rangka memperingatkan kaum muslimin dari keburukan dan menasihati mereka
Contohnya, ketika seorang laki-laki melakukan taaruf dengan seorang perempuan yang ingin dinikahi. Maka wali perempuan itu harus memberi informasi yang jujur tentang kondisi si perempuan.
Bisa juga digunakan untuk memperingatkan seseorang yang diberi amanah namun tidak menunaikan amanah itu sebagaimana mestinya.
Kelima, ghibah dalam rangka menjelaskan perbuatan fasik dan bid'ah yang dilakukan terang-terangan.
Keenam, ghibah dalam rangka mengenalkan seseorang
Misalnya, si Fulan yang buta, si Fulana yang pincang dan sebagainya.
Tujuannya adalah untuk memperjelas identitas seseorang yang dimaksud agar tidak salah paham. Namun perlu hati-hati dalam mengungkapkannya agar jangan sampai terjadi penghinaan.
Bagaimana menghindari ghibah (yang diharamkan)?
Ghibah itu memang membuat ketagihan. Apalagi kalau "pancingan" kita berhasil membuat orang lain antusias untuk menambah-menambahi cerita itu dengan "bumbu-bumbu".
Hal tentu berbahaya karena berpotensi menimbulkan fitnah.
Jika sampai diketahui oleh pihak yang dijadikan bahan ghibah, orang itu bisa tersinggung dan merasa dikhianati.Â
Kalau sudah begini, pertemanan bisa rusak dan berakhir dengan permusuhan.
Ghibah itu adalah ketika kita membicarakan keburukan orang lain dan orang tersebut tidak suka apabila keburukannya diketahui.
Nah, sekarang coba posisikan diri Anda sebagai orang itu.
Seandainya aib Anda yang disebarluaskan, Anda senang tidak?
Misal Anda sedang berada dalam suatu perkumpulan yang sedang ghibah, Anda bisa mengalihkan pembicaraan itu pada hal lain. Jangan jadi "minyak" apalagi "kompor" dan bersikaplah pura-pura bego atau tidak tahu.
Atau kalau memungkinkan, Anda pamit pergi saja dari situ.
Oiya, ini juga berlaku di dunia maya. Soalnya ghibah zaman kiwari nggak cuma di lapak tukang sayur doang. Di grup WhatsApp juga ada.
Mumpung masih bulan Ramadan, yuk bisa yuk, belajar mengendalikan mulut dan jari untuk tidak ghibah melulu.
Lagipula, diri sendiri aja belum bener, kok sibuk banget ngomongin keburukan orang lain?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H