Pertanyaan "kapan nikah?" bagi perempuan lajang mungkin terdengar horor, apalagi bagi yang sudah berkepala tiga.
Sementara perempuan yang telah bersuami akan menghadapi pertanyaan horor berikutnya---yang tidak jarang juga membuat jengah---yaitu "kapan punya anak?"
Apalagi bagi mereka yang sudah cukup lama menjalani biduk pernikahan.
Perlu rekan-rekan tahu, budaya kita adalah budaya kolektif. Masyarakat yang menganut budaya kolektif akan menganggap bahwa "urusanmu adalah urusanku". Jadi, jangan heran ketika orang-orang suka kepo tentang kehidupan pribadi kita. Termasuk soal "kapan nikah dan punya anak".
Berbeda dengan masyarakat negara-negara Barat yang lebih individualis. Di sana, Anda baru nikah umur 40 tahun pun nggak bakal dighibahin tetangga.
Dan nggak bakal ada yang menyindir Anda---baik secara halus atau terang-terangan---sebagai "perawan tua" gara-gara umur udah kepala tiga tapi belum nikah juga.
Barangkali pertanyaan yang biasa ditanyakan disini, seperti soal kapan nikah dan punya anak, bakal dianggap tidak sopan oleh mereka.
Budaya kolektif menempatkan masyarakat sebagai "polisi moral" atas hidup orang lain. Bahkan untuk urusan-urusan yang sebenarnya sudah menyangkut ranah privat.
Ini menyebabkan segala pandangan atau prinsip hidup kita harus mendapat validasi dari masyarakat. Secara sederhana, maksudnya adalah "diri dan hidup kita wajib memenuhi ekspektasi orang-orang".
Jika kita tidak menjalani hidup seperti mayoritas orang atau seperti ekspektasi mereka, lantas dihakimi bahwa hidup kita tidak "on the right track", melanggar kodrat, melanggar tradisi.
Buktinya?