Pengeluaran latte factor terbesar adalah pada kebutuhan sandang sekunder, seperti lipstik, sepatu, baju-yang dibeli untuk menambah koleksi semata-tas, syal, aksesori dan sebagainya. Persentasenya mencapai 58%.Â
Posisi kedua ditempati oleh pengeluaran untuk taksi atau transportasi online sebesar 15%. Berikutnya adalah membeli cemilan dan minuman ringan sebesar 11%. Sementara untuk kopi, rata-rata menghabiskan sekitar 9% dari total pengeluaran latte factor masing-masing responden. Adapun yang terkecil, yaitu sebesar 1%, adalah pengeluaran biaya transfer ATM dan tarik tunai.Â
Kontras dengan hal tersebut, hasil survei yang dilakukan oleh Kadence International Indonesia bertema "Share of Wallet" menunjukkan masyarakat Indonesia hanya menyisihkan rata-rata 8% dari penghasilannya untuk tabungan. Itu saja kadang masih belum konsisten. Padahal jumlah ideal untuk tabungan adalah 10%-30% dari penghasilan bulanan.Â
Penyebab Latte FactorÂ
Menurut psikolog, Ajeng Raviando, latte factor dapat muncul karena beberapa alasan, seperti kebiasaan, impulsive buying dan tekanan dari lingkungan sosial.Â
Misalnya, jika seseorang terbiasa membeli kopi di kedai kopi dekat kantor, maka tanpa sadar ia akan mampir lagi besok dan seterusnya.Â
Godaan diskon dan cashback pun seringkali jadi penyebab latte factor. Apalagi didukung dengan kemudahan dalam pembayaran sehingga kita hanya perlu klik apa saja yang ingin dibeli, transfer, lalu menunggu barang diantar tanpa perlu repot-repot keluar rumah. Jika uang tidak cukup, bisa pakai fitur pay later.Â
Akhirnya urusan belanja bukan lagi karena kebutuhan atau didasarkan pada alasan rasional, melainkan karena dorongan emosional dan menuruti hawa nafsu.Â
Lingkungan sosial juga banyak mempengaruhi pengeluaran latte factor seseorang. Misalnya, ia sering diajak teman-temannya nongkrong di coffee shop mahal. Akhirnya ia selalu ikut dengan alasan "menjaga hubungan pertemanan", biar tidak dicap sombong atau nggak asik.Â
Pengeluaran apa saja yang termasuk latte factor?Â