Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Dear Warganet yang Budiman, Definisi Open Minded Nggak Sedangkal Itu"

5 Oktober 2020   15:31 Diperbarui: 5 Oktober 2020   15:37 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi open minded/thevennvoice.org

Orang yang open minded justru tidak pernah menganggap bahwa pendapatnya yang paling benar sedangkan yang lain salah. Mereka terbuka dengan berbagai perspektif dan bersikap objektif. Ia menyadari bahwa pendapatnya bisa benar dan bisa juga salah. 

Jika ia memang salah, ia tidak akan marah ketika ada yang mengoreksi atau mengkritiknya. Jika ia benar, ia tidak akan menjelek-jelekkan yang salah. Ketika ia benar, justru ia akan memberikan pemahaman dan membuka pikiran orang lain yang belum paham. 

Open Minded Itu Tetap Punya Prinsip

Menjadi open minded memang mengharuskan kita untuk terbuka dengan beragam perspektif, prinsip atau nilai yang mungkin berbeda jauh dengan yang kita yakini. Tapi bukan berarti kita harus menerima atau menyetujui semuanya dan melanggar prinsip hidup kita. Yang harus kita lakukan adalah melihat dan menilai sesuatu dari beragam sudut pandang dengan sejernih-jernihnya pikiran dan hati. 

Sayangnya, makna open minded ini sekarang mengalami peyorasi dan seringkali malah dijadikan pembenaran atas tindakan yang negatif. Open minded lebih sering disalahpahami sebagai pandangan atau tindakan yang berani melanggar aturan-aturan agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. 

Misalnya, ada sebagian perempuan feminis yang menilai bahwa jilbab adalah bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Kemudian, atas nama feminisme, kebebasan berekspresi dan open mindedness, kita latah mengamini pandangannya. 

Padahal mengenakan jilbab bagi seorang muslimah adalah salah satu bentuk kewajiban dan ketaatan kita pada aturan Allah SWT. Apakah menjalankan perintah agama menjadikan kita bagian dari kaum close minded?

Contoh lainnya, masalah seks bebas. Menurut mereka yang ngakunya "open minded", melakukan hubungan seks dengan pacar (bukan suami atau istri) adalah salah satu bentuk rasa sayang dan cinta. Padahal yang namanya "pacar" juga belum tentu bakal jadi jodoh kita di kemudian hari. 

Katakanlah kita berprinsip untuk tidak akan mau "disentuh" atau "menyentuh" lawan jenis sebelum sah. Lalu, mereka menganggap kita cupu. Haruskah kita melanggar prinsip tersebut agar tidak dikatakan cupu? 

Open minded itu tidak hanya sekadar menerima perbedaan pandangan orang lain. Namun harus disertai juga dengan batasan-batasan yang jelas. Intinya adalah kita tetap punya filter, mana yang bisa kita pakai dan mana yang tidak. Inilah alasan mengapa kita hidup harus punya prinsip, terutama yang berkaitan dengan agama dan norma sosial.

Saya memang tertarik mengetahui nilai-nilai atau kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan oleh umat agama lain. Namun, dalam hal akidah, saya harus menetapkan batasan yang jelas karena ada ajaran-ajaran dalam akidah agama lain yang menurut agama saya itu tidak tepat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun