Coba sekarang kita cermati bersama. Berapa banyak berita bohong yang tersebar di media online maupun medsos per harinya? Berapa banyak orang yang kemudian percaya tanpa mengecek kebenarannya? Apa dampak yang ditimbulkan dari berita bohong itu? Anda pasti sepakat bahwa berita bohong telah berhasil membuat masyarakat di negeri ini "geger" bahkan sampai bertengkar. Anda tentu masih ingat kan, berapa banyak berita hoax politik yang dihembuskan ke publik selama pelaksanaan Pilpres 2019 kemarin? Anda tentu juga masih ingat kan, kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa minggu silam? Dan masih banyak kasus lainnya yang bikin "geger" masyarakat hanya gara-gara berita hoax atau berita bohong.Â
Coba sekarang kita cermati bersama. Berapa banyak kasus intoleransi yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini? Berapa banyak orang yang melakukan kekerasan atas nama agama dan Tuhan? Berapa banyak orang yang gemar menuding kafir, bid'ah, sesat, ahli neraka hanya karena berbeda pendapat dengannya atau kelompoknya? Padahal orang yang mereka tuding sebagai kafir, bid'ah, sesat, ahli neraka adalah saudara seiman dan seagama sendiri. Parahnya lagi, mereka yang berbuat intoleran ini merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk membela agama dan Tuhannya. Dan dua contoh yang saya kemukakan ini adalah bagian dari kebodohan.
Manusia adalah Makhluk Berakal
Kita tahu bahwa posisi kepala berada di atas atau posisi tertinggi dari anggota tubuh lainnya. Posisi kepala ini tentunya lebih tinggi dari perut dan kemaluan kita. Dari sini saja kita harusnya paham bahwa akal menempati posisi yang tinggi dan penting dalam kehidupan kita sebagai manusia. Dengan akal, seharusnya manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Kalau akalnya lebih condong pada kebaikan, ia akan mampu mengendalikan dirinya. Sedangkan akal yang lebih condong pada keburukan, membuat seseorang lebih memperturutkan hawa nafsunya.Â
Kata "akal" sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu aqala, ya'qilu, aqlan. Kata "akal" dalam Al-Qur'an sering disebutkan dalam bentuk kata kerjanya, yaitu, ya'qilun dan ta'qilun, yang masing-masing disebutkan sebanyak 22 dan 24 kali. Selain itu, ada pula kata na'qilu, qi'luha dan aqaluhu disebutkan masing-masing 1 kali. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan Al-Qur'an sangat menekankan penggunaan akal. Bahkan orang yang tidak mau menggunakan akalnya berpotensi mengantarkannya pada siksa neraka. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Al-Mulk ayat 10-11 berikut ini.
[10] Mereka berkata, "Sekiranya kami dahulu mendengar atau menggunakan akal kami, pasti kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala ini" [11] Mereka mengakui dosa-dosanya, tetapi rahmat Allah telah jauh dari penghuni neraka yang menyala.
Akal, selain dapat mengantarkan manusia pada pengetahuan dan kesimpulan ilmiah, juga dapat menguatkan keimanan seseorang. Misalnya, dengan memperhatikan alam semesta dan fenomena yang melingkupinya dapat menguatkan keyakinan kita akan kebesaran Allah SWT. Kita akan sadar bahwa kalau alam semesta saja sebesar ini, bagaimana dengan Sang Pencipta? Kesadaran ini kalau diteruskan lebih jauh bisa sampai pada kesimpulan bahwa masalah hidup kita sebesar apapun, pasti tidak lebih besar dari Allah. Kita akan sadar bahwa kita ini cuma sebutir debu (bahkan lebih kecil lagi) dihadapan-Nya sehingga malu rasanya kalau bersikap sombong.Â
Hijrah Dari Kebodohan
Hari ini bertepatan dengan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1441 H. Peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah akhirnya ditetapkan sebagai awal patokan penanggalan hijriah. Kata "hijrah" berasal dari Bahasa Arab yang artinya meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Perintah berhijrah tertuang dalam salah satu ayat Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 218, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Â