Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memelihara Kebodohan Berpotensi Menimbulkan Dosa-Dosa Lainnya

1 September 2019   22:32 Diperbarui: 1 September 2019   22:38 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi-sumber : makeuseof.com

Sebenarnya, hijrah sendiri memiliki banyak makna. Tidak hanya berpindah tempat saja. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, hijrah lebih bermakna mengubah diri menjadi lebih baik dan berusaha meninggalkan keburukan. Misalnya, yang sebelumnya suka menunda-nunda sholat, setelah hijrah sholatnya jadi lebih tepat waktu; yang sebelumnya suka nyinyir dan gosipin orang, setelah hijrah jadi lebih bisa menjaga lisannya; yang sebelumnya suka males-malesan, setelah hijrah jadi lebih rajin; yang sebelumnya suka boros, setelah hijrah jadi lebih bisa mengontrol keuangannya dan masih banyak lagi. 

Sebelumnya saya sudah jelaskan bahwa orang yang tidak mau menggunakan akalnya berpotensi mengantarkannya ke dalam siksa neraka. Jadi, dapat dikatakan bahwa memelihara kebodohan itu berbahaya.

Setidaknya ada 2 jenis orang bodoh di dunia ini. Pertama, orang bodoh yang sadar kalau dirinya bodoh. Kedua, orang bodoh yang tidak sadar kalau dirinya bodoh.

Orang jenis pertama, karena ia sadar kalau dirinya bodoh, dia akan belajar dan berusaha mencari tahu agar tidak bodoh lagi. Orang jenis kedua, karena ia tidak sadar kalau dirinya bodoh, berarti harus disadarkan dari kebodohannya.

Tapi, yang jadi masalah adalah orang bodoh, tidak sadar dirinya bodoh dan ketika disadarkan malah ngeyel. Udah ngeyel, pake sombong pula. Enaknya diapain coba orang kayak gini? 

Oiya, kalau Anda pernah memperhatikan keterangan profil saya, disitu tertulis "long-life learner". Nah, kenapa sih saya beri keterangan begitu? Itu karena saya terinspirasi dari kalimat,"menuntut ilmu dari buaian sampai liang lahat".

Bagi saya, namanya belajar nggak harus di sekolah atau kampus. Lha kalau belajar cuma di sekolah atau kampus, berarti setelah wisuda kita nggak perlu belajar lagi?

Terus gimana sama mereka yang nggak pernah mengenyam pendidikan di sekolah atau kampus? Apa mereka nggak bisa belajar juga layaknya anak-anak sekolahan atau kuliahan? Itu nggak adil namanya!

Padahal belajar dan mencari ilmu pengetahuan itu hak semua orang. Makanya selama saya masih sehat lahir-batin, saya ingin terus belajar apapun dan dari siapa pun. Belajar adalah cara saya untuk hijrah dari kebodohan. Dan Kompasiana secara tidak langsung telah menjadi "sekolah" buat saya. 

Sekian tulisan receh dari saya. Selamat malam. Selamat beristirahat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun