Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi telah mengantarkan manusia pada pola hidup baru dengan kecanggihan diberbagai bidang. Pengaruh modernisasi yang berlangsung telah menjadikan para pengguna sangat aktif dalam melakukan berbagai aktivitas melalui sistem teknologi informasi, seperti penyelenggaraan electronic commerce (e-commerce) dalam sektori perdagangan/bisnis, electronic educationi (e-education) dalam bidang pendidikan, electronic health (e-health) dalam bidang kesehatan, electronic government (e-government) dalam bidang pemerintahan serta teknologi informasi yang dimanfaatkan dalam bidang lainnya.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet (APJI) dan Polling Indoensia bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2018 bertambah 27,91 juta sehingga menjadi 171,18 juta jiwa. Artinya, penetrasi pengguna internet di Indonesia meningkat menjadi 64,8% dari total penduduk yang mencapai 264,16 juta jiwa. Sementara berdasarkan data secara spasial, Jawa masih menjadi wilayah pengguna internet terbesar di Indonesia, yakni mencapai 55%. Adapun pengguna internet terbesar berikutnya adalah Sumatera (21%), Kalimantan (9%). Kemudian Sulawesi, Maluku dan Papua dengan total (10%) serta Bali dan Nusa Tenggara (5%).
Namun perlu dicermati bahwa semakin meningkatnya penggunaan media social justru memberi celah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menyalahgunakan data-data pengguna yang telah diinput di media sosial. Beberapa bentuk penyalahgunaan data yang kerap terjadi diantaranya adalah penjualan data data profiling, tujuan pemasaran, penelitian bahkan secara ekstrem termasuk dalam hal spionase/pemantauan. Tidak hanya itu saja, data pribadi yang telah disimpan di media social juga sering disalahgunakan untuk melakukan tindakan criminal seperti pembuatan aku palsu, penipuan dalam jaringan, bahkan transaksi illegal tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Kebocoran data yang dapat terjadi tentu tidak diharapkan semakin meluas bahkan sampai menuju aktivitas cybercrime. Prof. Dr. Widodo S.H., M.H. menyebutkan bahwa cybercrime adalah setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan computer sebagai sarana melakukan kejahatan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada pasal 4 menyebutkan bahwa salah satu tujuan hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik adalah untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum. Namun, pada praktinya, pemangku kebijakan belum dapat merealisasikan dan mewujudkan rasa aman, keadilan serta kepastian hukum bagi pengguna media social.
Bila kita menilik pada regulasi perlindungan data prbadi masih cenderung lemah dan bersifat umum karena aturannya yang terpisah di beberapa peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan data pribadi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undnag Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hal ini berbeda dengan negara tetangga kita yaitu Malaysia yang lebih dahulu memberikan pengaturan mengenai perlindunga data pribadi dalam bentuk undang-undang sendiri. Aturan mengenai perlindungan data pribadi yang dibuat oleh negara tersebut, yakni Malyasi Personal Data Protection Act (PDPA) 2010 bertujuan untuk mengatur pengelolaan data pribadi oleh pengguna data dalam hal betransaksi secara komersial, dengan maksud menjaga kepentingan subjek data itu. Selain itu, terkait transfer data pribadi lintas batas turut diatur juga dalam PDPA tersebut.
Maka, tentunya sangat diharapkan bagi pemerintah Indonesia melakukan percepatan proses pembahasan RUU PDP untuk menjawab secara menyeluruh terkait kebutuhan perlindungan data pribadi baik dari sisi nasional maupun lintas batas (internasional). Sehingga apabila UU PDP ini telah ada maka dapat dijadikan rujukan mengenai definisi dan ruang lingkup yang tegas terkait konsep perlindungan data pribadi.
Seperti dilansir dari Kompas.com, Wahyudi Djafar, Deputi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan bahwa keberadaan UU PDP sangat dibutuhkan apabila Indonesia akan menjadi bagian penting dari perkembangan ekonomi digital. Karena sebagaimana diketahui, dalam proses perkembangan ekonomi digital, persoalan keamanan data seringkali menjadi sorotan.Â
Oleh sebab itu, pemangku kebijakan perlu secepatnya membentuk peraturan tersebut serta melakukan edukasi mengenai pemanfaatan jaringan internet yang baik kepada masyarakat agar penyalahgunaan media sosial kepada hal - hal negatif dapat berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H