Mohon tunggu...
Agung Lumbantoruan
Agung Lumbantoruan Mohon Tunggu... Lainnya - Pencinta Aksara

Bhavana sraddha, satya, santhosa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sisi Manusiawi Soekarno Muda - Resensi Film “Soekarno: Indonesia Merdeka!”

11 Desember 2013   21:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:02 2148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_283316" align="aligncenter" width="308" caption="Soekarno : Indonesia Merdeka! (MVP Pictures)"][/caption]

Berbicara mengenai sosok Soekarno dalam aktivitas pergerakan kemerdekaan Republik di sebuah medium yang bernama layar lebar bukanlah perkara gampang. Apalagi dalam sebuah film yang berdurasi kurang lebih 160 menit. Belum lagi mengingat penuturan sejarah yang seringkali berbenturan dengan subjektivitas oleh siapa yang berbicara dengan apa yang dibicarakan. Tetapi tampaknya hal ini tidak berlaku bila menonton film “Soekarno : Indonesia Merdeka!” produksi MVP Pictures.

Cerita film yang digarap oleh Hanung Bramantyo dan Ben Sihombing jelas terukur. Ini terlihat jelas dari pengambaran sosok Soekarno lengkap dengan kejadian-kejadian yang dianggap penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. Itulah sebabnya cerita film ini lebih menitikberatkan pada sisi manusiawi seorang Soekarno. Terbatas pada fokus seorang Soekarno sampai pada proses pembacaan naskah proklamasi saja. Ilustrasi musik yang dibesut oleh Tya Subiakto juga mendukung penggambaran setiap adegan-adegan yang ada. Perasaan penonton diaduk sedemikian rupa untuk bisa menebak kira-kira apa yang sebenarnya terjadi dalam penokohan sosok-sosok yang diceritakan. Yang paling menarik adalah latar musik dalam adegan interaksi Inggit Ganarsih yang menolak dimadu oleh Soekarno. Begitu pula pada saat menjelang dibacakannya naskah proklamasi.

Penulisan naskah film ini teramat cermat pada susunan kata demi kata sehingga tidak jarang mengalir dialog dengan kalimat-kalimat yang cerdas. Tengok saja pada bagian perdebatan antara Soekarno, Hatta dan Sjahrir mengenai keberadaan bala tentara Jepang di nusantara. Atau manakala Soekarno berbicara dengan Inggit Ganarsih sewaktu akan diasingkan ke Australia oleh tentara Hindia Belanda. Sinematografi oleh Faozan Rizal pun patut dipuji. Kesulitan-kesulitan tingkat tinggi dalam pengambilan gambar suasana masa lalu hanya dibatasi pada tempat-tempat tertentu. Istana Bogor dijadikan latar belakang saat suasana pembicaraan antara Soekarno cs dengan petinggi Dai Nippon. Rumah pribadi Soekarno yang kini sudah berubah menjadi Monumen Soekarno-Hatta terlihat nyata. Beragam ornamen yang dibutuhkan untuk mengesankan suasana masa lalu pun dihadirkan dengan cukup baik. Bila diperhatikan dengan seksama maka akan nampak jelas dari busana-busana yang dikenakan. Perempuan-perempuan Indonesia yang berkebaya, orang-orang tua yang bersarung, para petani terlihat lusuh dan kuyu dengan bertelanjang dada serta masih banyak lagi lainnya.

Tak kalah menarik adalah akting para pemeran sosok-sosok yang hadir di film ini. Pemilihan Ario Bayu sebagai Soekarno sangatlah pas dan tepat. Gaya pembawaan seorang Soekarno hadir dalam bahasa tubuh, raut wajah dan mimik Ario Bayu. Kemampuan Ario Bayu membawakan pidato amatlah menarik disimak. Intonasi suara dengan penekanan pada kata-kata tertentu mengingatkan kembali pada suara bariton Soekarno. Dominasi aktingnya patut diacungi jempol. Menjadi roh tersendiri dalam film ini. Perhatikan baik-baik pada saat Soekarno duduk berdua dengan Fatmawati di pinggir pantai. Saat berdialog tanpa terasa tatapan tajam Ario Bayu kepada Tika Bravani langsung bisa disimpulkan menunjukkan aura ketertarikan. Belum lagi tiba-tiba tangan Ario Bayu sudah bergelanyut di bahu lawan mainnya. Yang paling menonjol adalah akting Tanta Ginting sebagai Sjahrir. Sosok yang mungkin tak lagi dikenali generasi muda. Tiba-tiba saja adu akting Tanta Ginting dengan Ario Bayu dan juga Lukman Sardi bisa memicu emosi para penonton. Apalagi saat berakting wajahnya Tanta Ginting terlihat ngeselin. Kalak karo satu ini terbilang jago. Pembawaan Maudy Kusnaedi sebagai Inggit Ganarsih pun menambah manisnya jalan cerita. Begitu pula dengan kewajaran akting Tika Bravani. Manis-manis matang manggis emang elok ditonton.

[caption id="attachment_283284" align="aligncenter" width="500" caption="fatmawati - soekarno"]

13867691311036919529
13867691311036919529
[/caption]

Hanung Bramantyo sebagai sutradara dengan sedemikan cerdas hanya membuat adegan demi adegan bersifat simbolis demi urutan kronologis cerita yang kiranya bisa dengan mudah dikunyah penonton. Tidak diceritakan dengan detail masa kecil Soekarno. Hanya penonton diberitahu bahwa dulunya beliau bernama Kusno. Karena sering sakit-sakitan maka diganti dengan nama Soekarno pada sebuah prosesi yang kental bernuansa jawa. Begitu pula tidak ada kisah asmara antara Soekarno dengan Inggit Ganarsih. Diganti dengan sebuah adegan yang melelehkan perasaan penonton dimana Inggit yang cukup emosional ketika tidak bersedia dimadu. Perkenalan Soekarno dengan Hatta juga tidak diceritakan. Hanya sekilas penonton diberitahu melalui percakapan Soekarno dan Inggit ketika memperlihatkan artikel berjudul Tragedi Indonesia. Ketertarikan Soekarno dengan seni dan perempuan diperlihatkan ketika Soekarno remaja berpacaran dengan Rika Meelhuysen di pinggir kali. Adegan ini menjadi menarik kala Soekarno remaja hendak mencium pacarnya tiba-tiba tercium oleh ayahandanya dengan melempar sepatu. Yakinlah penonton akan tersenyum. Pola yang sama diulang kembali dalam adegan Soekarno-Fatmawati di pantai.

[caption id="attachment_283292" align="aligncenter" width="508" caption="Proses Syuting Film Soekarno:Indonesia Merdeka! (tribun news)"]

13867696242039599829
13867696242039599829
[/caption]

Keberanian Hanung mengumbar sejarah romusha Indonesia dengan sosok Soekarno adalah keistimewaan tersendiri. Pencitraan Soekarno yang sangat penting begitu piawai diracik oleh Hanung manakala saat hendak berpidato mengenai Pancasila. Kegelisahan akan dasar negara yang bisa merangkum semua golongan di Indonesia terlihat dari raut wajah dan bahasa tubuh akting para pendukung film ini. Begitu pula saat menjelang prosesi pembacaan proklamasi. Siasat sang sutradara lainnya yang cukup mujarab adalah ragam dialog dalam bahasa melayu, jawa, Indonesia, Belanda dan Jepang sangat kental. Untuk mengurangi keterbatasan penceritaan sang sutradara menyisipkan beberapa narasi singkat. Ditambah dengan beberapa klip dokumenter dari peristiwa-peristiwa bersejarah masa silam.

[caption id="attachment_283294" align="aligncenter" width="458" caption="Hanung Bramantyo di sela-sela syuting film Soekarno:Indonesia Merdeka!"]

13867699311683070653
13867699311683070653
[/caption]

Demikian pun film ini masih menyisakan celah-celah kecil yang fundamental. Diantara adalah kurangnya introduksi karakter-karakter lain.Ketika bertemu dengan sosok Sjahrir tidak ada tulisan yang menginformasikan siapa gerangan orang ini. Begitu pula dengan sosok-sosok lainnya. Bagi orang yang bukan penikmat sejarah akan mengundang tanya tanya. Apalagi yang antipati dan tidak peduli sejarah. Bisa jadi membosankan. Juga perihal mengenai kejadian-kejadian bersejarah tidak begitu banyak keterangan singkat. Sifat simbolis adegan demi adegan yang ditawarkan sang sutradara punmenjadi kendala tersendiri untuk mengeksplorasi karakter Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain. Sisipan-sisipan cerita yang mengundang senyum pun terasa kurang. Padahal bisa saja dibuat adegan fiktif tanpa mengurangi fakta sejarah demi kenikmatan penonton. Adapun klip-klip dokumenter sebenarnya bisa menyempurnakan film bila tepat pemilihannya serta peletakan dalam urutan cerita. Khususnya untuk klip dokumenter di akhir film sangat kurang berkesan karena faktor editorial semata. Selain itu sebenarnya masih jalan cerita yang kurang lengkap bisa ditambahkan dengan infografis animasi yang menarik.

Janganlah sekali-kali membandingkan film Soekarno yang satu ini dengan mahakarya Sir Richard Attenborough “Gandhi” apalagi dengan “Lincoln” karyacipta Steven Spielberg. Para pencandu film sejati pasti akan merasa kurang greget. Tapi bolehlah gigitan Hanung Bramantyo diberi apresiasi positif karena kualitas film ini telah memperkaya warna sinema Indonesia. Andaikata saya boleh memberikan penilaian layaknya kritikus sinema maka film “Soekarno : Indonesia Merdeka!” layak diberikan tiga dari lima bintang.

"Menarik sekaligus mendidik"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun