Mohon tunggu...
Andee Meridian
Andee Meridian Mohon Tunggu... -

the gembel mancanegara\r\n\r\npenggemar SBN

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Pilkades: Pilih Saya, Rebut Hadiahnya!

23 Februari 2013   01:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:51 2746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selalu ada cerita menarik pasca pesta demokrasi kecil-kecilan bertajuk PILKADES. Ada kekalahan dan kemenangan, ada kekecewaan dan kegembiraan, ada tanda tanya besar setelahnya dari pihak yang kalah. Sebuah peristiwa per 6 tahunan yang sedari kecil saya amati tak banyak berubah, demokrasi yang aneh.

Betapa tidak, jauh-jauh hari sebelum hari pencoblosan banyak kurir suruhan dari calon kades yang berkeliling membagikan mie, beras atau kebutuhan pokok lainnya termasuk rokok. Ini kan aneh?! Alih-alih menunjukkan kepantasan diri sebagai calon yang nantinya layak dipilih dengan berbuat baik dan beramal saleh, si calon justru memaksakan diri untuk "bersedekah". Ini terjadi dari dulu, sejak saya belum punya hak pilih karena masih belum mengenal apa itu cinta (lho? Emang yang punya hak pilih kudu mengenal cinta? Harus dong! tinggal pilih mana? Cinta uang apa cinta nurani?).

Kemarin saya pasang kuping guna mendengarkan curhatan salah seorang kandidat yang kalah dalam PILKADES. Ia menuturkan kekecewaannya kepada bapak saya, karena kalah dalam pemilihan kepala desa. Meskipun dia sudah menghabiskan uang hampir 300 juta guna membiayai kampanyenya dan "sedekah" kepada rakyat yang akan memilihnya. Namun apa daya, ia kalah dalam penghitungan suara.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa kekalahannya karena kubu lawan lebih punya banyak modal untuk membagikan amplop kepada warga yang hendak memilih. Ditambah lagi sebuah terobosan baru politik jual-beli yang dikemas dalam undian berhadiah. Apa itu? Pada perhelatan pilkades yang diadakan serempak di beberapa desa di kabupaten brebes, saya mendapati sebuah model politik jual beli inovasi baru. Dimana salah seorang kandidat membuat panggung kecil yang kemudian di panggung tersebut bercokol beberapa hadiah untuk diundi. Tidak tanggung-tanggung, sepeda motor new scorpio z yang jadi grandprizenya. Lumayan menggiurkan bukan?

Tak tik tersebut sungguh jitu untuk menarik minat warga agar memilih kandidat yang "dermawan" yang rela membagikan hadiah mewah untuk ukuran orang kampung. Tentu saja undian berlaku hanya jika si kandidat terpilih. Dengan demikian banyak warga yang dengan senang hati menyumbangkan suaranya dengan bermimpi memiliki sepeda motor, tv, kulkas, sepeda dan atau hadiah lainnya yang dipamerin di panggung.

Dari dua desa yang salah satu kandidatnya memakai tak-tik tersebut, keduanya sukses memenangkan pemilihan. Salah satunya adalah lawan dari bapak yang curhat seperti yang saya ceritakan di atas. Ia benar-benar kecewa karena warga tak menghargai pengabdiannya selama 6 tahun terakhir(sebelumnya dia sudah menjabat kepala desa di desa tersebut).

Lalu, salah satu pernyataan kekecewaannya adalah ia mengatakan bahwa tak perlu jadi orang baik untuk mendapat simpati warga yang akan memilih siapa pemimpinnya. Cukup dengan banyak uang, rajin membagi amplop dan sedikit kreatif mencari tak-tik jitu menarik minat pemilih (undian berhadiah). Ia menambahkan, bahwa mungkin seorang penjahat sekalipun yang baru keluar sel, asal dia punya uang untuk membeli suara seharga 50ribu per orang, maka orang tersebut akan menang dan terpilih.

Dari kenyataan di atas, saya beranggapan bahwa tak ada lagi kepedulian sebagian warga kampung untuk memilih pemimpinnya yang benar-benar bisa 'mbangun deso'. Pemimpin yang bisa membuat warganya tinggal nyaman di kampung dengan program-programnya yang brillian. Contoh kegagalan pemimpin desa adalah semakin banyaknya warga yang pergi ke kota atau menjadi TKI .

Saya juga pernah mendengar kenapa banyak warga lebih menyukai uang daripada siapa yang jadi pemimpin? Mereka menyatakan bahwa kalau seorang pemimpin yang dipilih sudah jadi, apa mereka benar-benar melaksanakan janjinya? Jika tidak mereka juga tak akan menuntut lebih karena suara mereka sudah dihargai uang. Kenyataan yang sungguh membuat miris.

Dari peristiwa-peristiwa semacam ini, akankah kita bisa berharap negri ini bisa keluar dari keterpurukan? Sedangkan demokrasi di pemerintahan paling bawah saja sudah tak sehat dan tak beraturan.

Di penghujung curhatannya, si bapak mengeluh, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus mencicil hutang yang harus ia bayarkan di bank. Pasti bapak itu tidak bernasib sendirian. Masih banyak yang senasib dengannya yang harus menanggung hutang karena gagal memboyong mahkota kepala desa meski sudah menggelontorkan dana. Setali tiga uang, bagi kandidat terpilih pantaskah bersenang-senang? Tentu mereka harus menjadikan jabatannya untuk mengembalikan uang yang mereka bagi-bagikan semasa kampanye. Sama-sama menyedihkan dong. Jika saya dikasih duit 300juta, maka saya akan belikan warteg. Setuju?

Halo Indonesiaku? Lekaslah sembuh!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun