Mohon tunggu...
Andee Meridian
Andee Meridian Mohon Tunggu... -

the gembel mancanegara\r\n\r\npenggemar SBN

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Takut Kemanakah Engkau ?

22 Maret 2011   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:33 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13008027751872378898

Kiamat, sebuah kata yang sudah lama aku kenal. Ketika celanaku masih berwarna merah aku sudah menghafalnya di urutan nomer 5 sebelum iman qada dan qadar. Celanaku berwana biru, ketika aku faham untuk membedakan antara kubra dan sugra. Kubro masih jauh ketika masih banyak adzan berkumandang, begitu kata guru ngaji dan guru agamaku. Jauhnya sudah tampak dengan gejala-gejala alam dan penghuninya. Ketika celanaku berubah menjadi abu-abu seharusnya aku mulai megenal ketakutanku akan kiamat, tapi aku lupa. Kedewasaanku setelah beberapa tahun akhil baliq hanya berisi cita-cita dan cinta yang tanpa makna. Kini aku bercelana jeans dengan lutut sengaja dipertontonkan. Sesekali aku berceramah tentang iman pertama, kedua, ketiga, keempat dan keenam. Ceramahku adalah kekosongan belaka, karena aku hanya menghafal bukan mengamalkan. Lalu, yang kelima aku sisihkan. Garansi hidup 1000 tahun lagi, begitu sombongku berucap. Kiamat masihlah jauh,  pikiran laknatku menambahkan. Bumi baru yang ku injak semakin menyesatkan langkahku. Langit yang ku junjung semakin jauh dari pandangan wajahku yang mendongak. [caption id="attachment_96040" align="aligncenter" width="300" caption="eryevolutions.co.cc"][/caption] Lalu, sang pemilik semesta menayangkan opera " Kun fayakun ". Jeritan, tangisan bahkan ada yang merekayasa sendiri " Kun fayakun " dengan senapan dan mesiu di tanah gersang berpasir itu. Darah terlarut dengan air dan tanah. Ketakutan tak kunjung juga menjemputku dalam bimbang. Namun cinta-Nya kepadaku tak pernah musnah. Dia menjadikanku penonton tragedi "kun fayakun ", tapi aku hanyalah penonton yang punya mata dan telinga. Hatiku entah di mana, dia ada di dada tapi tak jua menyelamatkanku dalam kepanikan. Mungkin, dia sudah terlanjur busuk, legam dan tak berbentuk seperti fitrahnya. Otak yang bersekongkol dengan nafsu lari dari kekejaman ini, mereka tidak mau disalahkan. Dan aku malu untuk mengatakan ini semua karena syetan. Bukti kebenaran "kun-fayakun"  sudah mengelilingi dunia. Kubro barulah menampakkan gejala. Sedang sugro sudah merajalela  di pelupuk mata. Berupa kemarahan gunung, tanah, laut dan sungai yang masih tidak membutaku takut. Di sebrang sana juga sama, tidak mengubah kufurku menjadi syukur. Aku masih berdiri tegak tanpa takut dengan nafas yang kuhirup cuma-cuma.  Semua denyutan di tubuh yang menunggu diberhentikan sang pemilik nyawa. Takut, kemanakah engkau ?

Layar kaca retak oleh jeritan Koran basah oleh airmata Kiamat merambat bumi tersayat semua tersurat di setiap lembar mukjizat

Kemarin di pelupuk mata hari ini di seberang samudera Esok entah di mana ketakutan mengintip kelalaian sabda

Kubro berjalan mendekat sugro mengayak bathil dan hak beda keduanya samar pembungkus nyawa bermuram durja

" alt="iwan fals" />

*Kota tua sacheon ( korea kidul ) : 2011-03-22

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun