Mungkin sudah menjadi suratan, Setiap kali diterima bekerja saya selalu di tempatkan di posisi yang sangat menantang alias sulit bagiku pribadi. Mungkin kalau hanya bekerja di belakang layar komputer atau laptop sesulit apapun akan saya jalani dengan tekun. Namun, pekerjaan yang saya harus tangani adalah berhadapan dengan para pejabat/pegawai pemerintah. Yang dimana menurut saya adalah orang yang paling sulit di hadapi dibanding dengan klien yang super cerewet sekali pun.
Slogan “ Kalau bisa di persulit, kenapa harus dipermudah?” memang benar benar mewakili kinerja mereka. Saya yakin slogan ini tidak diciptakan oleh para pegawai/pejabat pemerintahan itu sendiri. Tapi ini merupakan slogan akibat kekesalan masyarakat akan tidak becusnya pegawai/pejabat pemerintahan dalam bekerja. Tugas melayani masyarakat tidak benar benar terlaksana. Karena yang terjadi di lapangan para pejabat/pegawai bertingkah bak bos besar. Dimana kita bagai suruhan memohon atau mengemis belas kasihan demi sebuah tanda tangan.
Seringnya berhadapan dengan mereka, membuat saya berpikir untuk mencari posisi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan. Berada di belakang layar adalah pilihan yang paling saya inginkan. Mungkin bagi seorang negosiator ulung hal ini tidak menjadi masalah. Sementara saya tidak pula pintar bermanis manis. Bagiku, ada aturan?. Ya saya lakukan. Ada pembayaran?. Ya harus ada juga Bukti Terima Pembayaran. Simpel!
Entah sudah beberapa kali saya hadapi petugas/pegawai yang bersikap bagai pemalak, bukan sebagai pelayan masyarakat.
1.Bea Cukai/Custom :
Saat itu kapal yang beroperasi di tengah laut mengalami kerusakan, dan harus mendatangkan teknisi dari Singapore beserta alat kerjanya. Tidak lupa kita ingatkan teknisi tersebut untuk membawa serta Invoice/Packing List alat kerjanya. Setibanya di Bandara, barang barang tersebut ditahan bea cukai dengan alasan harus membayar pajaknya. Saya pergilah menghadap mereka. Lalu saya jelaskan bahwa barang tersebut adalah peralatan kerja dimana nantinya akan dia bawa pulang kembali. Tetapi petugasnya ngotot harus di bayar. Saya pun setuju untuk membayar dengan syarat harus ada tanda terima resmi. Beliau bilang “ Kalau resmi biayanya lebih besar bu, karena di hitung berapa persen dari nilai Invoice”. “Kalau bayar ke saya ngak sampai separuhnya”. “Tidak pak! Berapa pun itu kalau memang masuk Kas Negara dan ada bukti terima resmi, akan kami bayar” sahutku. Setelah berdebat lama, saya pun bayar melalui merchant BRI yang ada di kantor mereka. Resmi! Rekening Kantor Bea dan Cukai. Sayapun berlalu membawa barangnya tanpa memberi sepeser uang rokok sebagaimana orang biasa lakukan.
2.Pandu/Pilot Kapal :
Entah salah atau benar, ketika sebuah kapal merapat/keluar dariatau ke dermaga. Maka semua biaya sudah ada standart nya dari pihak Pelabuhan. Termasuk biaya labuh tambat, tunda, dan pandu (pilot). Tetapi di lapangan kita sering terkaget kaget ketika petugas masih saja memalak dengan permintaan anehnya. Pernah suatu kali, kapal akan berlayar. Maka setelah semua dipersiapkan kita mulai menginformasikan pandu untuk keberangkatan jam 22.00. Saat kita hubungi masih jam 20.00. Dan jawaban yang kita terima “ Silahkan menunggu, alur masih padat”. Satu jam kemudian “ Silahkan nyalakan mesin”. Hingga tiba jam 00.30 barulah mereka tiba di atas kapal. Salah satu dari petugasnya turun dari boat dan menghampiri saya. “ Malam bu”. Sapanya. “ Selamat malam juga Pak, bisa saya bantu?” sahutku. “Bu, biasanya, kalau lewat dari jam 22.00 kita diberikan uang boat/atau sekedar uang kopi “. “ Oh, saya baru tahu pak, ada tanda terimanya ngak?”. “ Tidak bu, ini merupakan kerelaan saja”. “ Kalau begitu saya tidak bisa berikan pak. Karena 50 perak pun uang kantor yg saya pakai, harus ada bukti terimanya”. “Lagipula, untuk biaya pandu sudah kita bayarkan ke pengelola Pak “. Sahutku. Bapaknya berlalu dengan wajah kesal
3.Petugas Syahbandar :
“Selamat pagi Pak, kami mau melaporkan pekerjaan bawah air di wilayah dan otoritas Bapak. Untuk itu mohon diberikan pengawasan, dan Surat Persetujuan Direktur KPLP sudah kami lampirkan “aku menjelaskan. “ Baik bu, ibu maunya surat pengawasannya saja atau petugasnya juga ikut di kapal untuk mengawasi ?” tanya si Bapak. “ Karena ini pilihan, maka kami minta surat pengawasan saja pak. Kebetulan di kapal juga kurang akomodasi”. “ Baik bu, akan saya informasikan ke Kepala Kantor”.Keluar sebentar pura pura menelepon. “ Bu, menurut Kepala Kantor. Selain surat pengawasan, petugasnya juga harus ikut mengawasi”, “ Tapi dikarenakan akomodasi kurang maka ini kita buat fiktif saja”. “ Jadi ibu bisa bayar petugas fiktif ini sebesar Rp,480.000/orang”. “Nama fiktif yang kita berikan ada dua”. Jelasnya panjang lebar. “ Jadi artinya ibu bayar ke kami sebesarRp.480.000 x 2 x 30 hari. “ Wow, biaya yang fantastis” pikirku. Jika di kalikan dengan lama kontrak 3 bulan saja, berarti mereka bisa mengantongi hampir Rp, 90,000,000. “ Pak, karena awalnya Bapak memberikan saya pilihan, maka kami cuma memilih diberikan Surat Pengawasan saja tanpa di dampingi petugas” jawabku. Lagipula, kalau memang harus ada petugas yang ikut di kapal itu sudah merupakan kewajiban instansi. Di dalam surat yang diterbitkan Direktur KPLP juga tidak ada disebut biaya”. Bapaknya kesal, aku pergi meninggalkan kantornya. Dan sampai sekarang Surat Pengawasan itu pun di tahan. Yang paling penting kami sudah ikuti prosedurnya. Terserah mau di tanda tangan atau tidak. Karena uang itu tidak akan pernah saya bawa ke hadapan nya.
Harapan saya ke depan, baiknya para pejabat/pegawai pemerintah segera berhenti jadi pemalak. Jadilah pelayan masyarakat sesuai tugas yang di amanatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H