Tak sengaja melihat postingan foto salah satu group yang saya ikuti di media sosial. Tentang keluarga miskin di suatu daerah di Sumatera Utara. Tanpa mengurangi rasa empati terhadap keluarga tersebut, timbul pertanyaan di benak saya setelah membaca caption yang mengikuti foto tersebut..
“ Keluarga Erwin Marbun, 3 Tahun Tinggal di Gubuk Kecil, Kalau Hujan, Mengungsi ke Rumah Tetangga, Hampir 3 tahun pasangan suami istri Erwin Marbun (37) dan Ani boru Hasibuan (37) bergelut dengan kerasnya hidup. Bersama 6 anaknya, mereka tinggal di gubuk kecil di tengah-tengah persawahan. Mulai mengurangi jatah makan hingga mengungsi ke rumah tetangga kala hujan, sudah biasa dilakukan”.
Mengapa?, Bukankah mereka tinggal di tengah persawahan?, Apakah penduduk sekitar tidak peduli pada mereka?, dan rasanya masih banyak pertanyaan keheranan di benak saya melihat kesulitan hidup yang mereka alami
Kelaparan di daerah pertanian
Miris memang, mengingat kita tinggal di negeri yang sumber daya alamnya tidak terbatas. Tetapi mengapa untuk hidup cukup saja kita sulit. Jujur ada rasa heran melihat kondisi seperti ini, namun lagi – lagi bukan bermaksud menghakimi, hanya sedang berkaca dari pengalaman hidup sebagian orang, dimana mereka mengalami kelaparan di daerah pertanian. Menurut saya secara umum kelaparan dan kemiskinan seperti ini terjadi dikarenakan:
- Rasa Malas
Dulu dikala mendiang nenekku masih hidup, beliau seringkali marah jika salah satu dari kerabat datang membeli beras kepadanya. Alasannya, kita sama – sama petani padi tetapi mengapa harus membeli beras dari saya?. Perbedaannya karena nenekku tak mau hanya mengandalkan penghasilan dari menanam padi saja. Beliau juga merambah hutan untuk bertanam kopi, jagung, ubi, dan tanaman lain untuk dijual sebagai penghasilan tambahan. Jadi persedian padi yang ada bisa bertahan hingga panen berikutnya. Sementara tetangga yang lain, umumnya malas merambah jauh – jauh ke hutan. Padahal di desa saya merambah hutan untuk pertanian masih gratis dan bisa dikelola permanen
- Rasa Gengsi
Tinggal di daerah pertanian ataupun di desa, minimal kita bisa swasembada pangan. Karena lahan yang bisa dikelola masih luas. Kalaupun tak punya lahan kita bisa berkongsi dengan pemilik sawah atau ladang. Kalau di daerah saya 25 % dari hasil panen menjadi hak yang mengolah dan 75% untuk si pemilik. Intinya kita jangan gengsi untuk bergelut dengan lumpur, berpeluh dan membanting tulang, atau gengsi menjadi buruh diladang orang lain.
- Ketidak pedulian Tetangga
Di desa dimana orang tua saya tinggal, tingkat kepedulian kepada tetangga masih tinggi. Walau kehidupan petani disana bisa dikatakan masih jauh dari cukup, namun tidak kita temui keluarga yang tidak punya rumah ataupun harus menahan lapar. Jika seseorang kurang beras dan kebetulan tidak punya uang, dia bisa membayar dengan tenaga. Yang tidak punya modal untuk mendirikan rumah, penduduk setempat seringkali menyumbangkan tenaga dan material untuk mendirikan rumah sederhana dari kayu.
Kelaparan di tengah daerah pertanian, sesungguhnya bisa kita atasi dengan menghilangkan rasa malas, gengsi, dan meningkatkan rasa peduli. Koes Plus dalam lirik lagunya berkata “ orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman“. Lirik tersebut benar adanya, karena sesungguhnya lahan pertanian kita masih subur dan luas. Yang terpenting adalah kita mau berusaha dan menggerakkan otot kita untuk mengubah tongkat kayu itu menjadi tanaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H