Mohon tunggu...
Ida Lumangge S
Ida Lumangge S Mohon Tunggu... Buruh - IRT

Pemain!, Karena tak seorangpun dalam hidup ini yang jadi penonton.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah

23 Januari 2016   22:15 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga tahun lamanya kita tidak bertemu sejak kepulanganku yang terakhir. Aku bahkan dengan egoisnya tidak memberimu kabar. Sibuk mungkin hanya alasan bagiku, sementara saya masih punya waktu untuk nongkrong berjam jam bersama temanku di restoran atau di kafe kafe.

“Bu, seminggu yang lalu ada telepon dari kampung, katanya Bapak sedang sakit keras dan meminta ibu untuk pulang”. Celoteh mbok Warsih sontak mengagetkanku
“Tepatnya tanggal berapa mbok?”
“Seminggu setelah kepergian ibu ke Eropa”
Tanpa melanjutkan pertanyaanku, segera kubungi agen perjalananku untuk membelikanku tiket pesawat malam itu juga.

Aku tiba di desaku saat matahari sudah mulai mengintip indah di ufuk timur. Jalanan desa masih lengang. Aku bergegas menuju rumah Ayah setelah mobil yang kusewa menurunkan koperku.

“Ayah….Ayah….” tidak ada jawaban
Ku intip melalui celah jendela kayu, tumben pagi begini Ayah sudah matikan lampu. Tiba tiba terdengar bunyi derit pintu di buka, Pak Herman tetanggaku keluar lewat pintu depan rumah Ayah.
“Nak Mia! sudah lama tibanya?”
“Baru saja pak!” sahutku sedikit curiga kenapa Pak Herman berada di rumah Ayah
“Ayah kemana Pak Herman?” tanyaku setelah melihat Ayah tidak ada di kamarnya
“Duduklah Nak Mia” Pak Herman memintaku
Aku menurut dan menunggu dengan gelisah. Pak Herman menarik nafas berat seakan-akan ada sesuatu yang membebaninya.
“Ayahmu telah pergi seminggu yang lalu” akhirnya Pak Herman buka suara
Aku diam dan tak lagi mampu menangisi keegoisanku. Tanah merah itu kini telah menjadi jarak pemisah di antara kami.

“Ayah andai waktu bisa kuputar kembali, ingin rasanya aku menemanimu dan menyanyikan lagu keroncong kesukaanmu. Mendengarkan merdunya suara ukulele milikmu, sampai aku terlelap di pangkuanmu. Tapi aku bukanlah sang pemilik waktu”.
“Ayah…dengarkanlah nyanyian penyesalanku!”

Tulisan ini terinspirasi dari lagu Ayah miliknya Rinto Harahap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun