Salah satu ciri kota maju adalah memiliki kemampuan mambangun fasilitas umum yang layak bagi warga, diringi dengan kesadaran warga yang tinggi untuk memeliharanya. Singapura misalnya, membangun banyak infrastruktur kelas dunia.Â
Juga Tokyo yang gencar memperlengkap fasilitas transportasi dan aksesibilitas untuk warga kota terebut. Selain itu kota kota negara maju lain juga membangun banyak sarana olahraga, jalan, halte dan jembatan penyeberangan. Kota-kota kita juga terus membangun berbagai fasilitas umum untuk memudahkan kegiatan masyarakat.Â
Membangun fasilitas adalah kunci dari sebuah kota. Kunci yang tidak kalah penting adalah merawat. Setelah membangun, diperlukan niat kuat dari pembangun dan pengguna untuk mempertahankan fasilitas dengan disiplin dan kebiasaan. Manajemen pemeliharaan wajib dijalankan untuk merealisasikan perawatan dan pemanfaatan atas fasilitas umum tersebut.
Sayangnya, betapa banyak fasilitas trotoar kita, taman kota, halte dan pasar terlihat kotor tidak terurus. Benarkah masyarakat kita tidak tahu merawat? Sulit untuk mengatakan tidak. Mengapa? Karena tradisi merawat terkesan tidak sebanding dengan semangat kita membangun.Â
Satu contoh saja, masih sangat banyaknya halte bus di Jakarta yang dibiarkan dalam kondisi rusak. Halte halte tersebut butuh perbaikan segera akibat atap halte hilang, tempat duduk patah, maupun tiang halte yang sudah keropos.Â
Sama halnya dengan jembatan penyeberangan, tidak sedikit jembatan jembatan di Jakarta rusak. Hal ini serupa dengan yang dialami kota asal saya yaitu kota Pekanbaru.Â
Sudah banyak tercatat hilangnya komponen jembatan seperti baut, mur, kawat, maupun lainnya, baik di jembatan siak 1, 2, 3, bahkan jembatan yang baru diresmikan belum lama ini yaitu jembatan siak 4 juga mengalami hal naas tersebut.Â
Hal ini dilakukan oleh pihak pihak nakal tak bertanggung jawab yang sampai sekarang tak tau obat apa yang dapat menghentikan mereka. Masyarakat Pekanbaru juga terbiasa mengalihfungsikan trotoar dan fasilitas umum menjadi area bersosial, ekonomi dan bisnis perdagangan. Halte dan trotoar yang seharusnya berfungsi dalam transportasi, beralih menjadi tempat dagang makanan pada malam hari, tempat parkir motor siang hari dan tempat tidur gratis pada malam hari.
Kita sudah biasa mendengar bagaimana bagusnya jalur sepeda dan pejalan kaki di Paris , toilet umum bersih harum di Singapura, trotoar pejalan kaki teduh menawan di Korea ataupun tidak terlihatnya bangku kotor, rusak atau sobek di seluruh stasiun Tokyo.Â
Sebenarnya, apa yang dilakukan kota kota tersebut, juga sudah dilakukan oleh pelaksana Negara kita. Sayangnya, manajemen perawatan kota kita belum sebaik dan sedisiplin mereka. Konsentrasi masalah juga mengarah ke lemahnya pengontrolan. Pemerintah kota pasti paham bahwa trotoar misalnya, adalah area pendukung mobilitas transportasi.Â
Semua kegiatan didalamnya tidak boleh mengganggu sirkulasi dan mobilitas. Kegiatan yang menguntungkan sekelompok orang saja harus ditertibkan dan tidak diberi izin beraktifitas.Pemerintah kota harus lebih tegas dalam menertibkan pihak pihak nakal tak bertanggung jawab. Minimal memberikan sangsi tegas bagi yang melanggar hukum tersebut.
Ini mengisyaratkan empat hal. Pertama, penerapan sistem pengaturan untuk fasilitas yang terencana. kedua, kedisiplinan tinggi dan kebiasaan baik pengguna untuk perawatan. Ketiga, pola perawatan dan pengontrolan fasilitas secara disiplin terencana.Â
Keempat, konsistensi penegakan hukum jika ditemukan pelanggaran. Untuk menuju kota maju, niat membangun fasilitas umum harus dibarengi kemampuan merawat. Kedua hal tersebut harus berjalan secara bersamaan dan memiliki kualitas dan kuantitas yang sama pula. "Jika kita ingin didepan, Maka bergeraklah maju. Jika kita ingin ketinggalan maka berhenti saja sudah cukup". Saya Bagas Prayoga Suswanto, Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H