Upacara Bau Nyale adalah tradisi adat yang sangat penting bagi masyarakat Sasak, suku asli Lombok, Nusa Tenggara Barat. Upacara ini bukan hanya sekedar perayaan, tetapi juga mengandung nilai spiritual budaya, dan sosial yang mendalam. Setiap tahun, masyarakat Sasak merayakan Bau Nyale dengan menangkap cacing laut yang muncul di pesisir pantai. Namun, dibalik tradisi ini, terdapat cerita legenda yang menjadi dasar dari upacara tersebut.
Upacara Bau Nyale berawal dari sebuah legenda yang sudah lama ada dikalangan masyarakat Lombok. Menurut cerita, legenda ini berkaitan dengan seorang putri cantik bernama Putri Mandalika. Sang putri adalah anak dari Raja Sasak yang terkenal akan kecantikannya. Banyak pangeran dari kerajaan lain yang ingin menikahi Putri Mandalika. Namun, sang putri tidak ingin memilih salah satu dari mereka, karena Ia merasa takut akan menimbulkan perselisihan antara para calon suami.
Pada akhirnya, Putri Mandalika memutuskan untuk mengorbankan dirinya. Ia terjun ke laut dengan harapann untuk menghindari pilihan sulit tersebut. Setelah itu, tubuhnya berubah menjadi cacing laut yang dikenal Nyale. Konon, setiap tahun, cacing Nyale ini muncul di pesisir pantai pada waktu yang sama untuk memperingati pengorbanan Putri Mandalika.
Upacara Batu Nyale memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Sasak. Yaitu, dengan munculnya cacing Nyale di pesisir pantai dianggap sebagai simbol keberkahan dan kesuburan. Masyarakat Sasak mempercayai bahwa dengan menangkap dan memakan Nyale mereka akan mendapatkan rezeki yang melimpah dan kehidupan yang makmur. Oleh karena itu, Bau Nyale menjadi ajang untuk memperoleh berkah bagi kehidupan sehari-hari.
Upacara Bau Nyale dilaksanakan setiap tahun pada waktu yang telah ditentukan, biasanya pada bulan Febuari atau Maret, ketika  Nyale mulai muncul dipesisir pantai Lombok. Proses pelaksanaan upacara ini dimulai dengan doa bersama di pantai yang dipimpin oleh pemimpin adat aatau tokoh agama. Doa ini dipanjatkan untuk memohon keselamatan, berkah, dan kelancaran selama menangkap Nyale.
Pada malam atau dini hari, masyarakat mulai turun kepantai dengan alat-alat tradisional seperti keranjang atau ember untuk menangkap cacing Nyale yang muncul dipermukaan. Selain menangkap Nyale acara ini juga dilengkapi dengan berbagai pertunjukan seni, seperti tari tradisional, musik gendang beleq, dan acara sosial lainnya.Â
Setelah berhasil menangkap Nyale, masyarakat membawa hasil tangkapan tersebut kerumah mereka untuk dimasak dan disantap bersama sebagai simbol kebersamaan. Nyale yang dimasak biasanya disajikan dengan nasi atau diolah menjadi berbagai hidangan khas Lombok.
Upacara Bau Nyale di Lombok merupakan contoh nyata bagaimana tradisi lokal yang berkaitan erat dengan legenda dan mitologi tetap hidup dan berkembangan dalam masyarakat Sasak. Tradisi ini bukan hanya sekedar upacara menangkap cacing, tetapi juga syarat dengan makna spiritual, budaya, dan sosial yang mempererat hubungan anatar individu dalam masyarakat. Melalui upacara ini, masyarakat lombok menghormati leluhur mereka, mempertahankan identitas budaya, dan memperkuat kebersamaan.Â
Bau Nyale juga menjadi salah satu daya tarik wisata budaya yang menarik bagi wisatawan, baik lokal maupun internasional. Selain mengenalkan nilai-niai budaya Lombok, upacra ini juga memberikan pesan tentang pentingnya menjaga warisan budaya dan tradisi dalam menghadapi tantangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H