"Sekarang kami bisa menikmati kembali hijaunya ranu-ranu di sekitar tempat tinggal kami, yang sempat kering airnya karena penggundulan hutan di sekitar ranu", ungkap A'ak Abdullah Al Kudus, penggagas Maulid Hijau.
***
Mungkin tak banyak yang tahu tentang ranu-ranu yang menyebar di wilayah utara Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Ranu-ranu ini merupakan bentukan dari hasil erupsi Gunung Lamongan sekitar 150 tahun yang lalu. Tak kurang ada 30 ranu yang ada di sana. Salah satunya adalah tiga gugus ranu, yaitu Ranu Klakah, Ranu Pakis dan Ranu Bedali.
Ranu-ranu ini sangat dekat artinya dengan kehidupan masyarakat. Masyarakat di sekitar danau memanfaatkan ranu sebagai sumber air minum, irigasi untuk sawah-sawah di sekitarnya, perikanan, hingga pariwisata, seperti Ranu Klakah dan Ranu Bedali.
Keberlanjutan kehidupan ranu juga sangat bergantung dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Jika sumber air sebuah danau berasal dari mata air yang ada di dasar danau, maka sumber air sebuah ranu bertopang pada serapan air yang ada di sekitar ranu. Semakin baik kondisi lingkungan di sekitar ranu, maka air di ranu tersebut akan melimpah. Namun jika kondisinya rusak, gersang, dan tak ada lagi akar-akar tanaman yang mengikat air, maka air di ranu juga akan berkurang, bahkan bisa menjadi kering dan mati.
Inilah yang terjadi di ranu-ranu tersebut, saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran, pada tahun 1998 lalu. Masyarakat rame-rame menebang hutan secara sembarangan. Tak kurang 6.000 kawasan di sekitar ranu menjadi rusak. Longsor menjadi ancaman besar.
Hingga tahun 2002, kondisi ranu-ranu tersebut rusak dan mengering. Salah satunya Ranu Klakah. Padahal, sebelum Ranu Klakah rusak, ada 40 mata air yang muncul di sekitar ranu. Namun saat Ranu Klakah rusak, hanya tinggal 6 sumber mata air yang tersisa, dan hanya 2 mata air yang besar, sisanya hanya mata air kecil. Bahkan, di tahun 2006 Ranu Kembar sudah tak ada lagi airnya.
Dan bagaimana dengan warga di sekitar ranu ketika ranu rusak? Masyarakat harus bersaing untuk mendapatkan air. Bahkan, sebagian besar warga harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membeli air, untuk kebutuhan memasak, mandi dan kebutuhan sehari-harinya. Setiap keluarga mengeluarkan tak kurang Rp 10 ribu setiap hari untuk membeli air yang dijual pedagang air jerigenan. Bisa dibayangkan berapa pengeluaran mereka setiap bulan, dibandingkan dengan penghasilan mereka yang bersandar pada hasil sawah dan kebun mereka.
Inilah yang menjadi keresahan A'ak Abdullah Al Kudus dan kawan-kawan di sekitar Gunung Lamongan. Rusaknya ranu sangat berpengaruh pada penghidupan masyarakat di sana. Lewat "Maulid Hijau", sejak tahun 2005 A'ak bersama ratusan santri dan masyarakat melakukan penghijauan di sekitar ranu.
Hingga akhir tahun 2009, tak kurang 400 hektar kawasan di sekitar hutan Lamongan telah hijau oleh tanaman buah-buahan, pisang, bambu dan sengon. Bahkan Ranu Kembar yang di tahun 2006 telah kering, di akhir 2009 telah terisi air hingga kedalaman 15 meter. Masyarakat sekitar ranu pun tak lagi kesulitan air.
Langkah kreatif ini patut menjadi pembelajaran bagi kawasan-kawasan lain, yang rusak lingkungannya dan menjadi krisis air akibat tindakannya sendiri.[ ]