Malam itu, kantuk belum juga menyapa tuk melipat malam hingga kan bergegas pagi menyambangi. Satu pesan singkat dari teman akrab dulu tertera di layar gawai yang menyala, menanyakan apakah aku sudah tidur atau belum, segera kuketikkan balasan, belum.
Lantas balas berbalasan pesan pun aku dan dia lakukan, obrolan mengalir, dari satu topik pindah ketopik yang lain.
Dulu, kami pernah duduk bersama menatap langit saat malam mulai menggelap sempurna, saat yang lain tengah tertidur lelap, kami bercengkrama. Membahas mimpi, yang akan mewarnai hari-hari selepas lulus dari sekolah asrama. Selalu menyenangkan berbincang dengannya, dia adalah salah satu orang yang kukagumi kepribadian dan kemampuannya ketika berada satu atap saat menuntut ilmu, tahun-tahun itu.
Dan pertanyaannya malam ini kembali mengingatkanku akan malam-malam yang sering kami habiskan bersama dulu, masih tentang seputar mimpi.
Membaca pesannya membuat hatiku bergetar, dan syaraf diotakku berpilin saling bersinggungan, memikirkan kemungkinan-kemungkinan jawaban atas pertanyaannya yang rasanya akhir-akhir ini persoalan itu tertimbun oleh pikiran-pikiran tentang tugas akhir dan banyaknya pikiran yang lain.
Aku meyakinkan diri, mimpi itu masih ada, meski nyalanya redup. Untuk melanjutkan pendidikan hingga strata dua bahkan lebih dari itu, meski rasanya, pilihan-pilihan lain lebih rasional. Menghasilkan uang dan membahagiakan orang tua salah satunya, untuk pilihan berumah tangga rasanya masih jauh dari angan.
Lagi, hatiku berdesir ketika balasannya kembali meyakinkanku untuk tidak melupakan impian kita waktu itu, atau impian yang tidak diperjuangkan itu akan tumbuh mengakar dimasa tua sebagai sebuah penyesalan.
Ia mengajakku untuk mencoba mencari beasiswa, aku tersenyum-meski ia takkan mampu melihat senyumku. Jelas aku tak sepintar dia, kemampuannya  jauh lebih diatasku, tidak akan terlintas kemustahilan jika dia yang mengatakan tentang beasiswa. namun untukku, seseorang dengan nilai pas-pasan, dan skil yang alakadarnya, kemampuan bahasa inggris dan public speaking yang tak seberapa, membuat nyaliku lebih dulu surut. Pihak mana yang akan mempercayakan beasiswa itu kepada orang yang tak memiliki apa-apa sepertiku. Melihat-lihat beberapa informasi beasiswa yang bersliweran di internet, rasa-rasanya aku ingin mundur sebelum berperang.
Atau kerja dulu, dia memberikan sebuah opsi atas keraguanku. Benar, ada sebuah kemungkinan dari opsi yang diajukannya. namun, lagi-lagi hatiku membantah, biaya strata dua tentulah lebih mahal jika dibandingkan dengan srata satu, kerja seperti apa yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan banyak uang untuk biaya pendidikan, sewa kamar kos, biaya makan dan kehidupan pribadi lainnya.
Fikirku masih picik, kemustahilan demi kemustahilan itu terus menyisir menjalari otak hingga hati paling dalam. Membuat fikirku semakin semrawut. Tentu saja lelah rasanya jika diumur sedewasa ini masih menggantungkan biaya hidup pada orang tua yang sudah berjuang banyak menghantarkan putrinya pada pendidikan sarjana, temanku itu mengatakan jika Ayahnya hanya mampu menghantarkannya sampai sarjana, untuk jenjang selanjutnya jika dia berkeinginan meneruskan, maka berusahalah sendiri. Aku memang tak mendengar Bapak mengatakan itu padaku, namun aku lebih dulu memutuskan, cukup sampai disini, sekarang giliran saudaraku yang lain. Rasanya memang benar-benar berat untuk mengatakan meminta lagi dan lagi, bukankah sudah gilirannya aku memberi.
Malam itu, fikirku sungguh berat, meski sudah amat redup, aku masih ingin menggenggamnya erat, meski di sisi  lain ada seseorang yang harus kubantu setiap pekerjaannya agar ia tak banyak merasa lelah, agar penyakitnya tak semakin parah, agar ia merasa bahwa ia memiliki seorang putri yang telah dewasa. Selama beberapa tahun terakhir tanganku jarang sekali terulur untuk meringankan pekerjaannya, ragaku jauh, dengan alasan sebuah pendidikan. Hingga seorang diri beliau mengurus rumah dan usaha kecil yang dirintisnya ditengah kondisinya yang sering sakit-sakitan.