Seseorang yang duduk di meja kasir yang kuyakini sebagai pemilik toko mendongak menatapku tajam. Eh, aku tercekat, mata itu menyiratkan tatapan tak bersahabat dan penuh ancaman.
"Eh, maaf, Mas." Aku membungkukkan badan sedikit, kalimatku terdengar lemah. Aku baru saja menyadari jika seseorang dengan rambut indah di hadapan adalah seorang laki-laki, bukan perempuan seperti perkiraanku.
"Aku berniat menjual buku, Mas."
Entah kenapa aku menyadari bahwa kalimat yang kuucapkan sedikit melunak, beberapa detik bersitatap dengan pemilik mata yang menyorotkan ketidaksukaan itu, aku sedikit kikuk.
"Aku perlu menjual buku-buku ini, Mas. Aku merasa aku tak menjadi pintar karenanya, malah semakin bodoh. Aku semakin tak tau apa-apa semakin aku banyak membaca, apa gunanya membaca jika aku dengan mudahnya melupakan apa yang kubaca. Aku tak dapat menjawab pertanyaan, aku tak dapat bersosialisasi dengan baik jika sudah bersama buku," jelasku panjang lebar, entah mengapa seolah aku perlu menjelaskan dengan pemuda itu, padahal ia belum mengeluarkan sepatah katapun untuk menyahutiku.
Aku tertunduk, perasaanku kembali campur aduk. Di rumah, orangtuaku selalu memarahiku perihal buku-buku yang kumiliki, buku-buku yang kubeli, buku-buku yang kupinjam dan buku-buku yang kubaca. Aku seolah melupakan apa itu sebuah kewajiban, apa itu obrolan ringan pengisi waktu senggang bersama keluarga. Aku lebih banyak tenggelam dalam halaman demi halaman buku-buku yang tak memberiku efek apa-apa itu.
"Jika Mas-nya tak bisa membeli, kuberikan saja secara sukarela buku-buku ini untuk di jual di toko. Aku sudah tidak mau berurusan dengan buku-buku ini," ucapku terus melanjutkan perkataan, ada sesuatu yang kutakutkan ketika kembali bersitatap dengan mata pemilik toko itu.
"Kau letakkan saja di sana," kata lelaki itu, mengalihkan pandang, tak lagi menghiraukanku.
"Eh, beneran tak di beli?" tanyaku penasaran, sebenarnya aku tak sunggh-sungguh mengatakan kalimat itu tadi. Aku juga membutuhkan uang, mana ada orang yang tak membutuhkan uang.
Sebagai jawaban lelaki itu kembali menatapku tajam, tatapan yang seolah ingin menelanku bulat-bulat. Gundah menjalari diri, aku beringsut undur diri. Setelah mengucapkan sepatah kalimat agar lelaki itu menjaga bukuku dengan baik.
"Tunggu," ucap lelaki itu menahan langkahku.