Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Move On (Part 3)

20 Desember 2023   21:17 Diperbarui: 20 Desember 2023   21:28 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Aku berjalan menapaki trotoar yang cukup ramai dengan lalu-lalang orang yang pulang dari tempatnya bekerja. Sebagaimana aku, orang-orang yang berpapasan denganku membawa bebannya masing-masing, mungkin beban tagihan rumah, cicilan kendaraan, uang bulanan kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan sekolah anak-anak. Lain fikiran, lain juga beban hati, seoonggok daging itu jika sudah sakit, maka seluruh syaraf-syaraf yang saling terhubung dalam tubuh juga mengirim sinyal yang tak mengenakan, terlebih sungguh tak nyaman melakukan aktivitas. 

Perkataan kasar dari atasan, perkataan yang buruk soal kekurangan diri dari rekan kerja juga penolakan akan cinta dari seorang yang benar-benar terkasih akan terus membekas, sukar sekali untuk disembuhkan. Aku menghembuskan nafas berat, jika aku dapat melihat hal itu, mungkin aku tak akan merasa punya beban seberat gunung dalam pundak. Benar, kata Allan setiap orang dengan bebannya masing-masing, asal kita tau. Eh, kenapa aku jadi mengingat barudak satu itu.

Di balik orang yang tersenyum ramah, di balik orang yang berjalan tegap dengan dada yang membusung ada sesuatu yang tak pernah diketahui orang-orang yang hanya selintas berpapasan di jalan. Orang-orang saling menyimpan rahasia, atau sebenarnya mereka tak ingin menyimpan rahasia, hanya saja tak tau bagaimana  cara membagi dan dengan siapa ia akan percayakan membagikan hal itu.

Sejak hari pertemuan di kafe dengan lelaki itu, hari-hariku memang terasa seperti rollercoaster terus berputar hingga titik tertinggi lantas terhempas hingga titik terendah. Sebenarnya itu bukan masalah besar, tubuhku masih sehat dan bugar, dompetku juga tak pernah kosong selama ini, tak ada yang kurang dalam hidupku jika kufikir-fikir. Pekerjaan, karier, pertemanan dan keluarga semuanya berjalan harmonis dan selalu membuatku merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia ini. Hanya saja, sudah pernah kukatakan, perihal seoongok daging itu semuanya terasa kacau sekali. Apa yang ada di dalamnya terasa sungguh menyiksa meski aku sudah berusaha untuk memberinya obat penawar, sudah kubalut juga lukanya. Meski katanya cinta bukan sebuah kalkulasi, yang mana tak ada kewajiban seseorang untuk membalas perasaan cinta yang dimiliki orang lain padanya, nyatanya cinta tak terbalas memang sesakit itu.

Aku berhenti, bersama beberapa orang yang juga berhenti di halte, menunggu Bus yang melaju ke arah di mana kembali menjadi sebuah tujuan untuk sejenak mengistirahatkan hati, badan dan fikiran. Meski sebenarnya semua itu hanyalah fatamorgana, dalam kesendirian dan sepi semua itu semakin riuh dan berisik. Apalagi perkara hati dan segala hal yang ada di dalamnya, takut, kalut, khawatir dan perasaan cinta yang berakhir tragis.

Bus berhenti tepat di depan halte, orang-orang sedikit bergeser demi memberi ruang pada mereka yang akan turun. Satu persatu orang-orang yang ada di depanku menaiki Bus, lantas tiba giliranku yang sejenak terpaku di depan layar kecil yang tak kunjung menyala meski aku berulang kali menempelkan kartu milikku.

"Ah, Sialan, aku lupa jika saldoku habis." Aku menggerutu, ternyata patah hati telah membunuh separuh lebih dari warasku hingga aku melupakan hal yang tak seharusnya aku lupakan, saldo itu.

"Ternyata kau masih juga ceroboh, Ra."

Aku menoleh demi mendengar suara berat lelaki di belakangku, yang kemudian disusul dengan sura bib kecil dua kali, lampu layar kecil itu menyala dua kali juga.

"Hai," ucapku refleks, demi menyembunyikan debaran jantung yang tiba-tiba bertambah volumenya demi melihat satu mahluk Tuhan yang ada di depanku. Lihatlah Tuhan, bukankah aku meminta agar jangan pertemukan aku dan dia di ketidaksengajaan manapun, karena aku tau aku tak sekuat itu untuk mengendalikan diri. Meski kuakui aku sungguh-sungguh merindukannya. Rindu yang entah bagaimana harus kukendalikan, saat rindu menginginkan bertemu dan tidak bertemu pada waktu yang bersamaan.

"Ayo, jalan, kau menghambat laju Bus ini, Ra."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun