[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ujian Sertifikasi Guru | Kompasiana (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)"][/caption] "Jadi guru itu enak ya, bu?" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang tenaga pemasaran sebuah lembaga bimbingan belajar ternama di tempat penulis mengajar. Penampilan beliau nampak lebih dewasa daripada penulis. Ketika itu bapak tenaga pemasaran tersebut sedang menunggu Bapak wakil kepala sekolah urusan kurikulum yang sedang berada di luar ruang guru. Penulis ketika itu sedang mengumpulkan hasil uji coba Ujian Nasional siswa untuk dikoreksi menggunakan scanner. Karena penasaran dengan alasan bapak tersebut, penulis balik bertanya kepada beliau, "Enak bagaimana, Pak?" Beliau menjawab, "Gimana tidak enak, Mbak, kerjanya nyantai tapi dapat tunjangan serifikasi banyak." Ya, penulis maklum dengan pendapat yang dilontarkan oleh orang awam yang bukan guru seperti bapak tenaga pemasaran tersebut. Pendapat tersebut tidaklah salah sepenuhnya dan juga tidak benar sepenuhnya. Benar juga jika pekerjaan guru itu enak atau bisa dibilang lebih enak bila dibandingkan dengan pekerjaan tenaga pemasaran yang menuntut seseorang untuk bisa mencari dan membujuk orang lain untuk mempercayai dan membeli produk atau jasa yang mereka tawarkan. Sedangkan guru tidak dituntut untuk itu. Namun, di lapangan, guru dituntut untuk mempengaruhi peserta didiknya untuk selalu berpikir, bersikap, dan berucap sesuai dengan kaidah yang benar. Hal tersebut tergolong sulit karena setiap peserta didik dapat dipastikan sudah memiliki prinsip dan latar belakang yang berbeda satu sama lain dari lingkukangan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Untuk mengubah pola pikir, sikap, dan ucapan peserta didik menjadi ideal sangatlah tidak mudah karena peserta didik telah terbiasa untuk berpikir, bersikap, dan berucap sebagaimana yang mereka terima dan mereka ikuti dari keluarga dan lingkungan pergaulannya. Benar jika guru mendapatkan tunjangan sertifikasi atau tunjangan profesi bagi guru yang telah mendapatkan sertifikat pendidik atau yang biasa disebut sebagai guru profesional. Secara teori guru profesional akan menerima tunjangan profesi sejumlah satu kali gaji pokok setiap bulannya. Namun secara praktik di lapangan, tunjangan tersebut diterima guru professional secara periodik setiap tiga bulan sekali atau satu tahun sekali atau bahkan hilang sama sekali selama beberapa tahun. Lebih-lebih seperti penulis yang termasuk dalam kategori guru belum professional. Kami, guru belum profesional, juga menerima tunjangan yang diberi label tunjangan guru non sertifikasi. Nominal Tunjangan tersebut boleh dibilang jauh lebih sedikit dari nominal tunjangan guru profesional. Namun hal itu patut disyukuri bila dibandingkan jika tidak mendapat tunjangan sama sekali. Terkait dengan penerimaan tunjangan profesi yang diterima oleh para guru profesional, hal inilah yang menjadi dasar terbentuknya opini publik yang menyatakan bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang "enak". Memang tidak bisa dipungkiri jika dengan adanya tunjangan profesi tersebut kesejahteraan hidup guru meningkat secara finansial. Walaupun sebenarnya tujuan pemerintah menggelontorkan tunjangan tersebut adalah untuk menunjang kegiatan guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya tunjangan profesi tersebut dari pemerintah, guru-guru berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup secara finansial. Dan tidak jarang pula guru-guru bersikap tidak mengindahkan hati nurani untuk memperoleh tunjangan profesi tersebut. Pemerintah tidaklah memberikan tunjangan profesi tersebut tanpa syarat. Untuk menerima tunjangan profesi tersebut, guru harus memenuhi beberapa persyaratan yang boleh dibilang menuntut guru untuk tertib secara administrasi dan bertindak secara professional. Ada serangkaian kegiatan dan seleksi yang harus dipenuhi guru. Namun tampaknya, tidak sedikit guru yang bersikap ideal hanya ketika ada penilaian yang terkait pemerolehan tunjangan profesi tersebut. Dan ketika mereka dihadapkan pada kegiatan belajar mengajar rutin tanpa pengawasan dari penilai, tidak sedikit dari mereka yang kembali bersikap tidak profesional. Berkenaan dengan upaya yang dilakukan oleh guru untuk memperoleh tunjangan profesinya, yang menurut pendapat penulis terdapat beberapa upaya yang tidak mengindahkan hati nurani, dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan upaya-upaya apa saja yang dilakukan guru di lapangan yang tidak mengindahkan hati nurani terkait pemerolehan tunjangan sertifikasi. Selain itu penulis juga akan memaparkan langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait termasuk ibu dan bapak guru dalam menyikapi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait tunjangan profesi guru. Guru dan Profesi Guru "Guru". Kata itu sebenarnya adalah kata yang penulis hindari untuk dijadikan cita-cita atau bidang pekerjaan yang ditekuni. Keratabasa Jawa mengatakan bahwa "Guru" berarti digugu (dituruti) dan ditiru (dicontoh). Berdasarkan etimologi tersebut, menurut pendapat penulis, seorang guru adalah orang yang terpilih yang merupakan sosok ideal dalam masyarakat yang sedikit atau bahkan tidak pernah berbuat salah yang patut dijadikan contoh untuk diteladani. Untuk menjadi sosok "guru", penulis merasa tidak mampu dan tidak layak karena mengingat masih banyak pola berpikir, sikap, dan ucapan penulis yang masih jauh dari sempurna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Hal senada juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, dan seterusnya. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah secara resmi telah mengumumkan bahwa guru merupakan suatu bidang pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian yang memenuhi standar tertentu dan memerlukan pendidikan profesi. Hal ini terbukti dengan adanya Pendidikan Profesi Guru yang harus dijalani seorang lulusan sarjana pendidikan sebelum dia terjun menjadi guru. Artinya seorang lulusan sarjana pendidikan harus memperoleh sertifikat pendidik untuk menjadi seorang guru. Bagaimana dengan guru-guru yang sudah mengajar saat ini? Apakah mereka bisa disebut sebagai profesional? Apakah mereka secara otomatis mendapatkan sertifikat pendidik? Sertifikasi Guru dan Tunjangan Profesi Bagi calon guru yang ingin berprofesi menjadi guru harus mejalani sertifikasi guru prajabatan terlebih dahulu melalui Pendidikan Profesi Guru di LPTK (Lembaga Pendidika Tenaga Kependidikan) yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Bagi guru-guru yang saat ini sudah mengajar, tetap harus menjalani sertifikasi guru. Sertifikasi guru bagi guru yang sudah mengajar disebut dengan sertifikasi guru dalam jabatan. Awal dicanangkannya sertifikasi guru dalam jabatan, yakni pada tahun 2006, guru menjalani sertifikasi dalam bentuk portofolio. Untuk mendapatkan pengakuan profesinya, melalui penilaian portofolio, guru diwajibkan mengumpulkan dokumen yang menggambarkan kualitas dirinya yang mengarah pada sepuluh komponen, yakni kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Pelaksanaan penilaian portofolio dapat kita lihat dalam Panduan Penyusunan Portofolio yang diterbitkan oleh Dirjen Dikti Depdiknas. Guru yang lolos penilaian portofolio, yakni mencapai nilai minimal 850, otomatis akan mendapatkan sertifikat pendidik dan mendapat predikat guru profesional. Sedangkan guru yang tidak lolos penilaian portofolio karena tidak dapat memenuhi nilai minimal 850, guru tersebut diwajibkan mengikuti PLPG (Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru). Guru yang mengikuti PLPG harus menjalani sejumlah tugas dan diasramakan. Setelah itu, guru harus menjalani penilaian baik dari dosen pembimbing, dari ketua kelas/kelompok PLPG, dan teman sejawat. Guru-guru yang memenuhi syarat dinyatakan lulus uji sertifikasi, mendapatkan sertifikat pendidik, dan berpredikat sebagai guru profesional. Sedangkan bagi guru-guru yang tidak memenuhi syarat dikembalikan ke dinas pendidikan dimana guru tersebut mengajar untuk dibina agar dapat memenuhi standar kualifikasi sebagai guru professional. Dengan menggenggam sertifikat pendidik, secara otomatis guru berpredikat guru professional akan mendapatkan tunjangan sertifikasi atau tunjangan profesi. Tunjangan profesi ini memang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru secara finansial. Dengan harapan semakin meningkatnya kesejahteraan, semakin bersemangat dalam bekerja, semakin meningkat mutu profesional, semakin bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Tunjangan profesi guru diberikan kepada semua guru baik guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun non PNS (swasta) yang lolos sertifikasi guru dan bersertifikat pendidik (guru profesional). Tunjangan ini sebesar satu kali gaji pokok yang idealnya diterimakan oleh guru professional setiap bulannya. Seyogyanya karena tunjangan ini berlabel tunjangan profesi maka tunjangan yang diterimakan seharusnya digunakan untuk mendanai segala hal yang bertujuan untuk meningkatkan mutu atau kualitas profesi tersebut. Tunjangan ini bukanlah semata-mata sebagai tambahan penghasilan guru, tapi juga sebagai penghargaan dari pemerintah kepada guru dengan harapan guru bisa menjadi lebih profesional dalam bekerja dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia untuk masa depan Indonesia lebih baik. Dengan adanya tunjangan sertifikasi guru atau profesi ini, semua guru dalam jabatan berlomba-lomba untuk mendapatkan tunjangan tersebut dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara finansial. Untuk mendapatkan tunjangan profesi ini, guru wajib memperoleh sertifikat pendidik terlebih dahulu melalui sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru dalam jabatan diatur ulang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2012. Dalam peraturan ini tampak bahwa proses sertifikasi guru semakin diperketat dengan tujuan meningkatkan kualitas guru yang bersertifikat pendidik. Mengapa proses serifikasi guru dalam jabatan diatur ulang? Mengapa proses sertifikasi guru dalam jabatan semakin diperketat? Hal ini terkait dengan ditemukannya sejumlah ketidakjujuran dalam pemenuhan dokumen untuk penilaian portofolio. Sebenarnya diperketat atau tidak suatu penilaian, bagi orang-orang yang kurang bertanggung jawab, mereka pasti bisa melihat celah untuk melakukan cara yang lebih mudah dengan manipulasi. Cara-cara yang dilakukan inilah yang sangat tampak tidak mengindahkan hati nurani. Dimana yang berhak tidak memperoleh haknya setelah melakukan kewajibannya, dan yang tidak berhak mendapatkan "hak istimewa" walaupun tanpa melakukan suatu kewajiban. Upaya Memperoleh Tunjangan Profesi Berbagai upaya dilakukan para guru untuk memperoleh sertifikat pendidikmelalui sertifikasi guru, predikat guru profesional, dan tunjangan profesi. Sama halnya dua sisi mata uang logam, segala cita-cita dan harapan manusia itu ada yang dicapai dengan cara yang sesuai kaidah yang benar dan ada juga yang dicapai dengan cara yang kurang atau bahkan tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Guru adalah juga manusia biasa yang memiliki hasrat, keinginan, cita-cita, dan harapan seperti halnya tenaga profesional atau pekerja lainnya. Dengan adanya iming-iming dari pemerintah berupa tunjangan profesi sejumlah satu kali gaji pokok setiap bulannya, maka banyak guru dalam jabatan yang berlomba-lomba untuk memperoleh tunjangan tersebut. Dalam perlombaan atau kompetisi pastilah ada yang menang dan ada juga yang kalah. Pemenang perlombaan, ada juga yang menang karena usaha dan kemampuannya sendiri secara benar, ada juga yang menang karena keberuntungan, dan ada juga yang menang karena usaha dan kemampuannya sendiri secara tidak benar. Usaha pemerolehan tunjangan profesi guru yang pertama adalah usaha untuk lolos dari proses sertifikasi guru, dalam hal ini sertifikasi guru dalam jabatan. Pada awal proses sertifikasi guru, tahun 2006, banyak guru yang merasa minder karena merasa kurang mampu memenuhi persyaratan untuk menjadi guru profesional berdasarkan sepuluh komponen yang diajukan pemerintah sebagai syarat kelulusan penilaian portofolio. Sehingga pada saat itu, memang kebanyakan guru yang tertib secara administrasi yang bisa lolos penilaian tersebut. Setelah digelontorkannya tunjangan sertifikasi guru bagi guru profesional angkatan pertama, mulailah ada sedikit gereget dari guru-guru dalam jabatan untuk mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan melalui portofolio. Sayangnya banyak guru yang kurang mendapatkan informasi perihal sertifikasi guru dalam jabatan pada masa itu. Sehingga peluang mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan hanya dimonopoli oleh pejabat tinggi di sekolah dan kerabat atau teman dekat pejabat sekolah tersebut. Hal ini terkait adanya persetujuan pengajuan peserta sertifikasi guru dari kepala sekolah terkait. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi suatu jabatan tinggi adalah mengayomi jabatan yang ada di bawahnya bukan untuk memanipulasi kebijakan yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dengan berkaca dari guru-guru yang tidak lolos penilaian portofolio, banyak guru yang merasa kurang dalam memenuhi syarat penilaian mencari cara agar terpenuhinya syarat tersebut. Karena yang disyaratkan dalam penilaian portofolio adalah kopi dokumen dengan legalisir pimpinan sekolah, tidak sedikit guru yang tidak memiliki dokumen pendukung yang mengopi dokumen asli milik rekan kerja dan mengganti identitas sesuai dengan identitasnya sendiri. Tidak dipungkiri jika dikarenakan banyaknya dokumen yang harus dilegalisir, maka unsur ketelitian untuk mengusut keabsahan dokumen tersebut jadi terabaikan. Satu lagi kecurangan yang dilakukan guru terkait proses sertifikasi guna pemerolehan sertifikat pendidik dan tunjangannya. Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk mengkaji ulang proses sertifikasi melalui penilaian portofolio dan mengeluarkan peraturan baru, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2012 tentang proses sertifikasi. Tidak hanya berhenti sampai di situ. Tenyata keinginan untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi guru juga menggoda tenaga kependidikan di sekolah. Ada banyak tenaga kependidikan non guru di sekolah yang mencantumkan identitasnya sendiri sebagai calon peserta bahkan menjadi peserta sertifikasi guru hingga dinyatakan lolos sertifikasi guru dan mendapatkan tunjangan profesi. Tenaga kependidikan tersebut biasanya adalah tenaga yang terkait dengan pengiriman data sekolah ke dinas pendidikan atau tenaga kependidikan yang terkait kepemimpinan sekolah. Faktanya ditemukan seorang kepala Tata Usaha sekolah dapat menjadi peserta sertifikasi guru, lolos sertifikasi, dan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Ada juga pemilik yayasan sekolah yang notabene bukan seorang guru dapat menjadi peserta sertifikasi guru, lolos sertifikasi bersyarat, dan mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Namun masalah ini tampaknya telah dapat diatasi pemerintah dengan adanya aplikasi Dapodik, dimana sekolah wajib melaporkan data riil sekolah ke pusat data melalui jaringan internet. Selanjutnya adalah syarat pemerolehan tunjangan sertifikasi guru. Guru yang dinyatakan lolos sertifikasi guru dan memperoleh sertifikat pendidik tidak serta merta langsung mendapatkan tunjangan profesinya. Sejak tahun 2012, disyaratkan guru wajib memenuhi 24 jam mengajar di sekolah untuk dapat mencairkan tunjangan profesinya. Permasalahannya bukanlah pada nominal jam mengajarnya tapi pembagian jumlah jam mengajar mata pelajaran tersebut terkait jumlah rombongan belajar yang diajar dan guru pengajar mata pelajaran tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), mata pelajaran Bahasa Inggris adalah 4 jam pelajaran setiap minggunya untuk satu rombongan belajar. Jika di suatu sekolah terdapat 24 rombongan belajar, berarti tersedia 24 x 4 atau 96 jam pelajaran. Jika jumlah pengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah tersebut berjumlah 8 orang, maka 96 jam pelajaran Bahasa Inggris dibagi 8 orang pengajar maka masing-masing pengajar memperoleh hanya 12 jam mengajar jika dibagi rata. Untuk memenuhi persyaratan jumlah jam mengajar guru profesional 24 jam, jumlah jam mengajar yang hanya 12 jam dapat dipastikan tidak memenuhi syarat. Pimpinan sekolah sudah berusaha membantu para guru untuk memenuhi jumlah jam mengajarnya, antara lain dengan team teaching, menambah jumlah labolatorium mata pelajaran, menambah jumlah wakil kepala sekolah, dan sebagainya. Namun kebijakan tersebut dimentahkan dengan peraturan pemerintah yang baru, antara lain, penghapusan team teaching, pengakuan satu orang kepala laboratorium untuk satu sekolah, dan pembatasan jumlah wakil kepala sekolah berdasarkan jumlah rombongan belajar sekolah tersebut. Dengan begitu, mau atau tidak mau guru yang ada di sekolah tersebut harus mutasi atau mencari tambahan jumlah jam mengajarnya di sekolah lain yang setingkat. Terkait mutasi guru, ada anggapan umum bahwa guru yang dimutasi adalah guru yang bermasalah. Berkiblat pada anggapan itu, banyak guru yang malu untuk dimutasi ke sekolah lain demi pemenuhan jumlah jam mengajar. Selain itu, guru-guru senior kurang memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja baru mengingat mereka sudah merasa nyaman dengan lingkungan kerja mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka tempati. Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan pimpinan sekolah untuk memilah dan memilih guru-guru mereka yang patut dimutasi. Pimpinan sekolah lebih mementingkan senioritas dalam usia dibandingkan senioritas dalam kompetensi untuk mempertahankan guru-guru yang mengajar di sekolah yang mereka pimpin. Tidak jarang ada sekolah yang kualitas pendidikannya semakin merosot karena guru-guru yang kompeten dalam mengajar banyak yang dimutasi ke sekolah lain. Terkait jumlah jam dan aplikasi Dapodik yang diluncurkan oleh Kemendiknas, juga terdapat banyak kecurangan yang dilakukan utamanya oleh administrator aplikasi Dapodik sekolah dan pimpinan sekolah. Di sini banyak guru-guru yang telah mengajar dengan jumlah jam tertentu tidak dimasukkan data jumlah jam mengajarnya ke dalam aplikasi Dapodik sesuai fakta di lapangan. Lagi-lagi pertimbangannya adalah karena senioritas, jabatan, dan kekerabatan. Sehingga banyak guru-guru yang mempunyai hak memperoleh tunjangan profesinya karena jam mengajarnya terpenuhi di lapangan dan telah melaksanakan kewajibannya, malah tersingkir karena jumlah jam mengajarnya diambil guru-guru yang mempunyai kepentingan atau kedekatan dengan pimpinan sekolah untuk dilaporkan dalam aplikasi Dapodik. Kebijakan yang Seharusnya dikeluarkan Pihak Terkait Dengan kehebohan jumlah jam mengajar minimal 24 jam per minggu, seharusnya pemerintah melakukan dulu pemetaan jumlah guru yang ada dengan sekolah yang tersedia. Sehingga dari pemetaan tersebut dapat diketahui jumlah kebutuhan guru, rombongan belajar, dan jumlah jam mengajar yang seharusnya dijadikan jumlah jam mengajar minimal. Jika memang kebijakan jumlah jam mengajar minimal 24 jam tidak dapat ditoleransi, maka sebaiknya pemerintah juga memikirkan bagaimana caranya menambah jumlah sekolah untuk bisa menfasilitasi guru memperoleh jumlah jam mengajar minimalnya. Jika penambahan jumlah sekolah juga tidak mungkin, maka pemerintah seharusnya membantu sekolah untuk melakukan pemekaran jumlah rombongan belajar di sekolah tersebut sehingga pemenuhan jumlah jam mengajar minimal dapat terpenuhi sesuai dengan jumlah guru pengajar di sekolah tersebut. Terkait aplikasi Dapodik, seharusnya dengan mendengarkan hati nurani, pimpinan sekolah dan administrator aplikasi Dapodik tidak perlu melakukan manipulasi data yang dikirimkan, cukup melaporkan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Hal ini terkait dengan pemerolehan hak setelah pemenuhan kewajiban guru. Sehingga guru-guru yang telah melaksanakan kewajibannya dapat memperoleh haknya dan guru-guru yang tidak berhak tidak seharusnya mendapat "hak istimewa" sebelum mereka memenuhi kewajibannya sesuai kaidah yang benar. Ibu dan bapak guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik dan berpredikat guru profesional seharusnya titik tolak sertifikasi guru dijadikan sebagai sarana untuk bekerja menjadi lebih profesional dibandingkan sebelum mengikuti proses sertifikasi guru, lebih bersemangat dalam bekerja, lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar dan membimbing siswanya, dan lebih mendengarkan hati nurani dalam mengambil keputusan untuk bekerja dan mengambil langkah yang tepat untuk masa depan. Menjadi profesional adalah keharusan suatu profesi. Menjadi guru profesional adalah aktualisasi diri. Untuk bekerja secara professional, guru harus mampu mendengarkan hati nurani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H