Tinggal beberapa bulan lagi kita akan menghadapi pemilu 2024, meski masih beberapa bulan, namun isu isu panas tentang dunia perpolitikan sudah kian membara diranah masyarakat, berbagai perselisihan, percecokan, perebutan kursi sudah mulai terjadi sat sekarang ini. Untuk menghadapi semua persoalan itu kita tidak bisa hanya dengan tangan kosong, untuk itu, study hadis akan ikut berkecimbung didunia politik yang diharapkan dapat mendatangkan tips dan solusi.
Berbicara tentang politik, dulu dizaman nabi juga terjadi perpolitikan, namun untuk dapat mengetahui politik dizaman nabi, terlebih dahulu kita harus kenal dua fase dizaman nabi, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Politik Nabi di fase Mekkah ditandai dengan peristiwa Baiat Aqabah I dan Baiat Aqabah II yang menjadi legitimasi dari penduduk Madinah diwakili oleh suku Aus dan Khazraj, dimana Nabilah yang menjadi pemimpin Madinah.
Kedua di fase Madinah, di fase ini nabi melaksanakan politik yang bersangkutan dengan persaudaraan internal kaum muslim, yaitu antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan perjanjian eksternal antara kaum muslim dan non muslim. Walaupun kepemimpinan dipegang Nabi dan kaum muslimin, namun kaum non muslim masih diberi kebebasan untuk memeluk agamanya masing masing.
masing.
Nah makanya, untuk memilih calon pemimpin di negara kita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Larangan Golput
Dari Muawiyah berkata: aku mendengar Nabi bersabda: Barangsiapa yang meninggal dan ia tidak pernah memilih (mengangkat) seorang pemimpin maka matinya dianggap mati jahiliah.
Pada tahun 2009, Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pertemuannya di Padang Panjang Sumatera Barat telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Fatwa tersebut didukung oleh beberapa MUI yang ada di beberapa daerah.
2. Pemilihan Pemimpin
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda: Barangsiapa yang mempekerjakan seorang lelaki dari suatu kelompok, dan dari kelompok tersebut ada yang lebih baik maka sungguh ia telah menghianati Allah, menghianati rasul-Nya; dan menghianati semua orang Mukmin.
Dalam literatur Islam, mengangkat seorang pejabat yang telah memenuhi kriteria merupakan hal yang sangat fundamental. Walau demikian, para ulama menyatakan bahwa mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ada yang lebih baik hukumnya boleh-boleh saja dan kepemimpinannya dianggap sah seperti yang dinyatakan Ibnu Hazm.