Matahari sudah bergesermelebihi sudut 90º dari ufuk timur. Aku melirik jarum jam di tangan dan mempercepat langkah. Suara itu terdengar semakin nyaring.
“Dari mana kalian?? Jam berapa ini? Kalian gak denger tadi disuruh balik jam berapa?” sergap salah seorang tim disiplin.
“Kami habis sholat dhuhur” jawabku dan Dina serentak.
“Emang yang lain gak sholat? Yang lain juga sholat tapi gak telat. Alasan aja.”
Aku dan Dina hanya menunduk. Dina tampak ketakutan. Bukannya merasa bersalah, aku malah menahan tawa geli. Ya, ini kebiasaan burukku.
“Hei kamu.. malah senyam-senyum, cepat ke aula fakultas” suara itu mengagetkanku.
***
“Kalian kenapa disini?” tanya tim disiplin yang lain.
Aku menjawab dengan lantang, “Telat”
“Ckckck…langsung saja ikuti yang lain salam OSPEK.” seraya menggelengkan kepala.
Tiba-tiba salah seorang tim disiplin menunjukkan jarinya ke arah Dina, “Kamu.. yang dibelakang sendiri..Salam OSPEK kok belum hafal, bacakan puisi untuk Mas yang berdiri di pintu itu.”
Tak lama kemudian jari yang tadi, menunjuk ke arahku, “Heh, kamu.. “ aku menoleh kanan dan kiri memastikan bahwa yang ia maksud adalah aku.
“Iya kamu.. tembak ketua BEM.. “
“Yang mana orangnya, Mas?” sahutku.
“Cari tau sendiri.” jawabnya ketus.
Aku tak paham apa itu BEM, langsung saja aku tanyakan pada orang yang saat ini sedang tertangkap penglihatanku.
“Maaf Mas, ketua BEM mana ya?”
Semua orang yang berada disitu menertawakanku. “Kenapa?”, sahut cewek yang ada disebelahnya.
“Saya kena hukum nembak orangnya.”, jawabku dengan ragu.
“Iya, saya sendiri”, jawab Masnya.
Tawa mereka semakin keras, daan Masnya hanya senyum-senyum.
“Ya udah.. langsung aja”, sahut cewek yang di sampingnya tadi.
Aku panik dan salah tingkah, tak tau harus mulai dari mana. “Saya gak bisa nembak, Mbak”
“Udah, tembak aja..”, imbuhnya.
Salah tingkahku memuncak, aku benar-benar gak tau harus gimana. “Emm.. I love you, Mas” jawabku spontan.
Mas ketua BEM ini hanya senyum, senyum yang membuatku sedikit tenang, damai.. Ah, tampaknya mas ini tak seperti senior yang lain.
“Udah? Gitu doang?”, tambah cewek tadi.
Aku ulangi saja kalimatku yang tadi, “Emm..I love you, Mas.”
“Aku gak bisa, Mbak.. masa cewek nembak cowok”,imbuhku setelah diam sejenak. Ah, rupanya aku sedang dijadikan bahan lawakan mereka. .
Senyum itu kembali kulihat, senyum yang menurutku berbeda dengan senyum-senyum yang lain. Ah.. senyum yang menenangkan. Rasanya, aku tak ingin kehilangan senyum itu.
“Dihukum kenapa?”, tanya Masnya.
“Telat tadi Mas.. habis sholat gak liat jam.. eh, ternyata udah dimulai acaranya.”. Aku menjawab dengan mantap, seakan tak merasa bersalah.
“Siapa namamu?”
“Zulfa, Mas.”
“Anak mana?”
“Tulungagung. Nama mas siapa?”
“Syarif”
“Asalnya?”
“Sidoarjo”
“ Jurussan HI juga?”
“Iya..”
Tak terasa kami banyak ngobrol dan ketawa bareng. “Aduh maaf, Mas.. kok malah aku yang banyak nanya.” Tampaknya Mas Syarif ini masih ingin ngobrol banyak, sayangnya..
“Semuanya harap kembali ke tempat duduk masing-masing.”,suara itu menghentikan obrolan kami.
***
Senyum itu selalu melekat di bayangku. Beberapa hari setelah itu, banyak hal yang aku ketahui tentang Mas Syarif. Teman-teman sering menjadikannya buah bibir. Maklum, DEMA F adalah salah satu orang penting di fakultas.
Yang aku tahu, Mas Syarif itu sudah lama nyantri di salah satu pesantren ternama, pinter ilmu agama, gak pernah pacaran,sabar. Dan aku rasa tampangnya lumayan :-D Idaman banget pokoknya...
Kami bertemu kembali pada acara “halal bi halal” antar mahasiswa dan pengurus fakultas. Pada acara itu Mas Syarif tampaknya masih mengingatku. Sesekali kita tak sengaja berpandangan, saling melempar senyum.
***
Malam harinya, sebuah SMS meluncur ke layar handphoneku yang ternyata datang dari Mas Syarif. Ah, aku tak percaya. Rasanya ini hanya mimpi. Jika memang ini hanya mimpi indah, aku tak ingin bangun dari tidur ini.
Di SMS itu, Mas Syarif mengajakku untuk kenal lebih dekat. Dia tak ingin pacaran. Dia ingin ta’aruf denganku. Ah, benar-benar seperti mimpi. Ku cubit tanganku untuk memastikan, dan aku merasakan cubitanku. Ternyata ini bukan mimpi. Mas Syarif bilang, dia sudah banyak tau tentangku dari Dina, teman se-almamaterku di Aliyah. Dina tak pernah menceritakan hal ini kepadaku.
Aku menerima tawaran Mas Syarif, dengan syarat: ia harus minta izin kepada orang tuaku dan harus menunggu study ku selesai. Bagaimanapun ridlo Allah berada pada ridlo orang tua. Dan Mas Syarif tak keberatan. Ah… aku kegirangan, bahagia tak karuan. Sekarang semua berada di tangan kedua orang tuaku.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menepuk lenganku sembari memanggil namaku. “Zul..Zulfa..kamu gak papa?”
Ah, Dina.. dia membangunkanku karena katanya aku senyum dan ketawa tak jelas. Aku seperti orang bodoh, bingung.. dan ternyata semua memang hanya mimpi. Acara halal bihalal masih besok, dan ternyata kejadian besok harinya tak seperti dalam mimpi. L
Aku menceritakan semuanya pada Dina, dia sudah lama jadi teman curhatku. Dia malah terpingkal-pingkal menertawakanku dan berkata :“Makanya Zul, janagn kebanyakan tidur”. Ah, Mas Syarif.. jangan salahkan aku, salahkan senyummu itu.. J
Malang, 01 Mei 2014 (il)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H