Ini cerita lucu masa kecilku. Waktu masih SD seperti biasa setiap jam 5 pagi aku mengaji kitab yang kebetulan gurunya adalah kakekku sendiri. Model ngaji yang diterapkan adalah model sorogan zaman dulu, murid harus meniru dan mengucapkan setiap keterangan yang dilafalkan guru. Aku termasuk murid yang sering tidak memperhatikan keterangannya, sehingga sering kali kena marah karena salah meniru.
Suatu ketika pengajian dimulai. Satu-persatu teman-temanku mulai mengaji bergiliran karena kitab kami berbeda-beda. Kini sampailah giliranku. Kakekku mulai membaca dan diikuti olehku, bab yang aku pelajari sekarang tentangnya batalnya shalat. Kakek mulai mengucapkan satu persatu hal-hal yang membatalkan shalat.Tentu saja aku harus meniru ucapannya tanpa boleh salah sedikitpun.
Aku sebenarnya mulai males dengan metode yang seperti itu. Walau dengan tetap kepala menunduk mataku mulai melirik sana-sini, aku lihat di halaman mushalla tempat kami mengaji nenek melempar sekepal nasi untuk ayam peliharaannya. Waktu itu kakekku melafalkan “ ngakan satogel buter, battal bajangnga” (makan setengah butir nasi [maksudnya sisa makan dalam mulut], batal shalatnya).
Dengan kepala tetap menunduk ke kitab, tapi mata dan konsentrasi tertuju sama ayam yang sedang makan, aku langsung menirukan ucapan kakek “ngakan sekepal buter battal bajannga” (makan sekepal butir nasi, batal shalatnya). Serentak semua teman-teman tertawa. Aku sendiri baru sadar ternyata apa yang aku ucapkan salah, karena ingat sekepal nasi yang sedang dilahap ayam. kakekku langsung bilang, “kalau makan sekepal nasidi tambah lauk sekalian biar kenyang.” Teman-teman makin kenceng tawanya. Tapi masih untung kakek tidak tahu kalau aku sebenarnya salah menirukan karena melihat ayam yang makan sekepal nasi. Jadi malu….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H