Setiap manusia lahir kedunia ini bukan serta merta Tuhan menurunkan kita begitu saja ke bumi, namun dengan proses yang panjang. Kita hidup di dalam rahim seorang wanita selama sembilan bulan, dari yang awalnya segumpal darah menjadi sesosok manusia yang bernyawa dan berindra. Wanita itu sering kita sebut sebagai "IBU". Wanita yang rela mengorbankan nyawa untuk anaknya. Â Cinta kasihnya tak pernah pudar di telan masa, sepanjang hayat tercurah tanpa jeda. Begitu mulianya wahai engkau wanita yang di sebut IBU, padamulah ridho Tuhan berada. Â
Akupun memiliki sosok wanita terhebat yang sering disebut "IBU" itu. Namanya Lilis Siti Sholihah, wanita berdarah sunda yang terlahir sebagai anak ke 6 dari 11 bersaudara. Terlahir dari keluarga yang sederhana dengan saudara kandung lebih dari satu menjadikannya sebagai wanita kuat, mandiri, rajin, suka berbagi, penolong dan karakter baik lainnya. Keluarga ibu memang bukan keluarga berada, kakek dan nenek hanyalah seorang petani kecil. Maka dari itu ibu tidak bisa melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Walaupun ibu tidak memilik pendidikan yang tinggi namun bagiku ibu adalah guru serta dokter disaat sakit. bagaimanapun pendidikan dan darimana keluarga ibu berasal selalu ku ucapkan syukur, bahwa aku terlahir dari rahimnya.
Masih ingat jelas saat aku masih duduk dibangku TK. Aku mengidap penyakit bronchitis sehingga hampir setiap bulan harus berobat jalan ke dokter. Agar aku mau di periksa dan meminum obat, ibu selalu memberiku hadiah berupa jepitan-jepitan rambut yang dibelinya di toko pinggir rumah sakit. Setiap pagi-pagi ibu dan aku pergi ke rumah sakit agar tidak mengantri dan aku bisa pergi ke sekolah walaupun terlambat, karena pada saat itu aku tak ingin membolos dan melewatkan bermain bersama teman-teman.Â
Dua tahun lamanya aku harus berobat jalan ke dokter. Sedikitpun ibu tak pernah merasa bosan dan enggan untuk memabawaku kerumah sakit, yang ada beliau terus berusaha agar anaknya bisa terbebas dari penyakit itu. Biaya yang di keluarkanpun tak sedikit, namun ayah dan ibu tak pernah menyerah. Untungnya Tuhan berbaik hati, mengamanahkan pekerjaan yang baik untuk ayahku. tahun berganti tahun, akupun tumbuh menjadi gadis yang sehat dan kuat. Setelah riwayat penyakit bronkitisku sembuh aku menjadi jarang sakit-sakitan seperti masih kecil dulu, namun tetap saja enam bulan sekali harus terus check up ke dokter untuk memastikan bahwa penyakitnya sudah sembuh total.
Sewaktu masih kecil hadiahku dari ibu adalah jepitan rambut, namun setelah tumbuh remaja hadiah itupun sudah tidak ada karena aku sudah berhijab. Tetap saja selalu ada hadiah baru yang ibu berikan kepada aku. hadiah jepitan itu sudah berubah menjadi cincin emas yang melingkar di jari tanganku. Rasa bahagiapun pastilah bertengger di dalam hatiku. Mungkin itu salah satu cara ibu membuat buah hatinya tersenyum bahagia. Dalam hatiku terbersit bahawa akupun ingin membahagiakan ibu. Bagiku, ibu bagaikan sosok malaikat tak bersayap, karena ia berhati mulia dan tak pernah lelah menebar cinta untuk keluarganya. Tak pernah bosan melayani dan menyayangi anak-anak dan suaminya.
HadiahDariIbu sedari aku kecil sampai remaja bisa dibilang sebuah barang. Namun setelah aku tumbuh dewasa aku tersadar bahwa hadiah itu hanyalah sebuah barang yang bisa dinilai dengan uang. Dari sudut pandangku sebagai gadis yang sudah mulai tumbuh dewasa, dengan pendidikan sarjana. Aku yang sudah bisa memaknai arti kehidupan dan keagaungan cinta. Bagiku hadiahdariibu yang tak bisa terganti dan di hargai dengan uang adalah Do'a.Â
do'a ibulah yang selalu tercurah dari pertama kali aku terlahir kedunia sampai deti ini, Â Do'a ibu yang mampu mengantarku agar selalu dalam lindungan-Nya, do'a ibu yang menjadikanku sebagai seorang wanita yang kuat dan tangguh untuk menghadapi kerasnya dunia, do'a ibu yang selalu mengiringi setiap langkah kaki ini. Tak pernah satu kalipun ibu terlupa untuk mendoakanku disetiap sujud panjanganya pada Sang pemilik kehidupan. Semoga Lelah dan peluhmu dalam mengurusku berbuah surga-Nya dan semoga aku mampu membuatmu tersenyum bahgia di usia senjamu kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H