Mohon tunggu...
Luthfi Arifah
Luthfi Arifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan

'Lupi' they call me like that. Jeno pokoknya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Frase Jaksel di Kalangan Anak Muda Gen Z

12 Juni 2023   12:40 Diperbarui: 12 Juni 2023   12:56 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penggunaan frasa "anak Jaksel" terus menjadi bahan perdebatan. Sebenarnya bahasa ini sudah meluas ke seluruh wilayah dan banyak digunakan oleh anak-anak di seluruh daerah, tidak hanya di wilayah Jakarta Selatan saja.

'Anak Jaksel' menjadi terkenal pertama kali pada tahun 2018. Tren bahasa ini disebabkan oleh bertambahnya anak-anak, khususnya anak-anak Gen Z yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan menggunakan kombinasi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi.

Menurut situs Spreadfast, anak-anak Gen Z sering menggunakan istilah "anak Jaksel". Selama dua minggu di bulan September 2018, tercatat ada lebih dari 52.000 tweet yang menggunakan tagar #anakjaksel dan istilah "anak jaksel".

Akibat promosi komikus Jakarta Selatan Ozi Rangkuti tentang kecenderungan bahasa ini menjadi leksikon Jaksel melalui postingan media sosialnya, istilah "Anak Jaksel" menjadi semakin umum. Kosa kata seperti which is, basically, literally, dan masih banyak lagi lainnya yang sering digunakan dalam materi konten Ozi Rangkuti jika merujuk pada bahasa pembahasan "Anak Jaksel"

Salah satu alasan mengapa penggunaan bahasa tersebut digunakan secara luas adalah karena beberapa dari mereka kesulitan dalam menggunakan bahasa indonesia secara penuh, mereka akan kesulitan berkomunikasi dengan yang lain, kebanyakan dari mereka adalah anak anak yang bersekolah di internasional school dimana hal wajib disana adalah berkomunikasi dalam bahasa inggris. Penggunaan bahasa campuran inggris -- indonesia tersebut dapat mempermudah berkomunikasi sehari -- hari, alasan lain selain tidak fasih berbahasa indonesia yaitu agar terlihat keren saat berkomunikasi

Apakah kita perlu khawatir tentang fenomena ini? Devie Rahmawati mengutip pengamat sosial dan budayawan dari Universitas Indonesia saat berbincang dengan CNN Indonesia. Aspek yang paling menarik dari bahasa Indonesia adalah bagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam campuran atau ganda campuran, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bernadette Kushartanti, seorang ahli bahasa di Universitas Indonesia, memberikan kutipan lain saat wawancara dengan BBC News Indonesia. "Hal ini tidak dapat dicegah karena setiap bahasa memang saling berinteraksi satu sama lain. Bahasa gaul, bahasa yang beragam, dan bahasa seperti Inggris, Arab, dan Korea membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak terhindarkan. Mencermati kedua kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa fenomena pencampuran bahasa tidak dapat dihindari dan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai fenomena ini. Namun tidak baik menggunakan bahasa-bahasa tersebut secara bergantian setiap saat. Karena setiap penggunaan bahasa pasti memiliki tujuan. Misalnya, jika kita menggunakan bahasa baku saat acara informal, teman kita atau mereka yang hadir pasti akan merasa terasing.

Lantas, apakah pendidik atau orang tua berperan dalam mengajarkan bahasa tersebut? Tentu saja, pendidik dan orang tua memainkan peran penting dalam meminimalisir fenomena ini

Cara terbaik yang perlu dilakukan adalah dengan memberi edukasi tentang bagaimana menggunakan bahasa dengan tepat dalam konteks yang berbeda. Seperti menggambarkan keadaan di mana bahasa Indonesia baku digunakan dan kapan campuran bahasa itu digunakan. Kemudian, orang tua atau pengajar juga dapat menjelaskan bagaimana bahasa berkaitan dengan nilai-nilai kesopanan.

Selain dengan cara memberi edukasi, mempraktekan langsung adalah teknik yang efisien untuk membiasakan anak mendengarkan bahasa supaya digunakan saat berkomunikasi. Karena anak -- anak cenderung mengikuti gaya bahasa yang mereka dengar, misalnya orang tua atau pendidik mempraktekan gaya berbahasa formal untuk acara rapat, seminar, lokakarya, dan lain sebagainya. Sebaliknya saat kumpul -- kumpul dengan teman sebaya mereka cenderung menggunakan bahasa informal.

Pada intinya bahasa masih dapat diterima selama masih digunakan sebagai alat komunikasi dan masih digunakan sesuai dengan konteksnya. Perlu diingat juga bahwa orang tua, dan lainnya bertanggung jawab untuk mengajari individu lain cara menggunakan bahasa secara efektif dan sesuai dengan situasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun