Mohon tunggu...
Puput Firgeya Neta
Puput Firgeya Neta Mohon Tunggu... Penulis - Lulana

Aku akan jadi kata, biar siapa saja bisa mengenalku

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Tidak Ada Pamit yang Sepenuhnya Baik

28 Agustus 2022   16:33 Diperbarui: 30 Agustus 2022   21:00 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pergi dari rumah. Sumber: Efrem Efre/Pexels.com

Sejak kau tak ada, aku tak memiliki rumah. Setiap hari, setiap mata, setiap percakapan terasa seperti perjalanan tanpa pulang. Setiap ruang, setiap  pijakan seperti hanya sebuah persinggahan. Aku tak menetap dimanapun melainkan di dirimu dan aku tak pulang kemanapun melainkan kepadamu. Jadi begini, rasanya hidup namun hilang. Aku seperti cawan berisi anggur yang kehilangan bibir tuannya yang setiap pagi menyentuh, menegaknya.

Bagi yang telah berhasil menggali ke dalam inti pertemuan lalu menemukan kebahagian, tidak ada pamit yang sepenuhnya baik meski telah dilakukan dengan begitu baik. Tidak ada pamit yang tak meninggalkan sepotong hati melainkan sebilah sakit. Juga malangnya, malam terakhir kita bertemu, tak ada seremoni saling peluk lewat tatap. 

Tak ada diskusi tentang bagaimana luka perpisahan ini kedepannya akan diselesaikan. Hanya ada sepasang mataku yang terus menatap ke jari-jari kaki seraya mengucurkan deras air dari dadaku yang kembang kempis memeras hati. Juga bibirmu yang seperti habis dirampok kalimat-kalimatnya dan hanya berhasil menyelamatkan kata maaf.

Malam begitu dingin namun diriku menjelma gurun pasir beserta segala yang ada didalamnya. Tak kumiliki perasaan apapun melainkan haus dan terbakar. Kata maaf darimu hanya sampai di ujung bibirku, tak bisa pergi lebih jauh bahkan hanya untuk sampai ke dalam leherku. Aku dahaga, lelaki. Butuh lebih dari maafmu.

Masih kuingat betul, hanya sekali aku melihat ke dalam matamu. Matamu memerah lelaki, seperti telah membenamkan diriku untuk seterusnya. Itulah senja yang paling kubenci selama hidupku, senja di matamu malam itu.

Kalau terus kuingat rasanya dadaku menyala, seluruh bagian dari diriku menjadi marah. Tidak, kita tidak berpisah atau juga terpisah, yang ada hanyalah kebenaran bahwa kau meninggalkanku. Sebab itu kau pamit, sebab itu hanya diriku yang menangis malam itu dan memendam sakit.

Ilustrasi Pribadi
Ilustrasi Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun