Dalam rentang 9 hari, kita disuguhkan berita beberapa kecelakaan bus pariwisata, dimana dua diantaranya cukup menarik perhatian karena terjadi di jalur yang sama, Puncak Jawa Barat, dan mengakibatkan korban jiwa. Pertama kecelakaan bus HS Pariwisata di Gadog, Bogor (22/4) dengan korban jiwa 3 orang, puluhan luka, dan beberapa kendaraan bermotor rusak setelah ditubruk bus tersebut akibat dugaan rem blong.
Kecelakaan berikutnya yang tidak kalah parah dampaknya adalah kecelakaan bus pariwisata Kitranz di Ciloto, Cianjur (30/4) dimana korban jiwa yang jatuh mencapai 12 orang, sementara puluhan lainnya luka-luka termasuk beberapa kendaraan bermotor lainnya ikut rusak.
Selain faktor manusia dan alam (kondisi jalan), kecelakaan ini saya rasa tidak lepas dari celah pengawasan yang memang ada jika kita merunut kepada undang-undang. Dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan bus pariwisata diatur dalam jenis Angkutan Tidak Dalam Trayek (pasal 151 huruf c).
Dengan diaturnya bus pariwisata ke dalam jenis angkutan tidak dalam trayek, maka bus pariwisata tidak memiliki kewajiban untuk masuk ke dalam terminal bus. Maka disinilah peran regulator (Kemhub maupun Dishub) dalam pengawasan tidak dapat dijalankan dengan baik. Karena jika kita merujuk kepada UU yang sama, kewenangan mutlak pihak regulator tersebut hanya ada di dalam terminal (pasal 262 ayat 2). Andaipun melaksanakan di jalan, regulator tersebut tidak bisa melaksanakan wewenangnya sendirian, melainkan harus bersama petugas kepolisian.
Padahal, masih dalam UU 22/2009, kewenanganan regulator sangat luas, terutama di area yang menjadi kewenangannya seperti terminal. Mulai dari memeriksa surat-surat hingga kelaikan jalan sebuah armada bus. Bahkan jika menemukan ketidak laikan pada armada bus, regulator berhak untuk menghentikan operasional armada tersebut. Disinilah vitalnya peran terminal bagi angkutan darat, selain sebagai tempat naik turun dan istirahat armada beserta krunya.
Peran regulator ini penting untuk menghindari beroperasinya kendaraan yang tidak laik jalan. Apalagi belakangan diketahui, menurut Kemhub kedua bus, yang mengalami kecelakaan di wilayah Puncak 22 dan 30 April lalu, tidak terdaftar baik sebagai perusahaan maupun sebagai bus wisata. Jika bus HS Trans terdaftar sebagai milik PO lain, maka bus Kitrans tidak terdaftar baik sebagai PO maupun sebagai bus pariwisata (Preskon Kemhub 1/5). Padahal pentingnya terdaftarnya PO maupun bus pariwisata selain alasan pengawasan, juga terkait asuransi kecelakaan dimana setiap bus pariwisata juga wajib membayar iuran asuransi Jasa Raharja yang bisa menjadi santunan kepada korban jika saja terjadi kecelakaan pada bus mereka.
Dengan kondisi tidak masuknya bus pariwisata ke dalam terminal, maka ada celah pengawasan terhadap kelaikan jalan bus pariwisata. Pengawasan secara teori hanya dialami armada bus pariwisata saat pengujian berkala (keur) yang dilakukan dalam rentang 6 bulan sekali. Sedangkan dalam rentang waktu 6 bulan tersebut tentunya sangat mungkin ada komponen dalam bus tersebut yang aus atau mengalami penurunan kualitas karena faktor pemakaian armada. Bagi bus pariwisata masa peak season terjadi hampi di setiap pekan, sementara pada bulan Maret-Mei tahun 2017 ini terjadi 4 kali akhir pekan panjang (long weekend) dimana permintaan akan bus pariwisata pun sangat tinggi. 2 kecelakaan terakhir (HS Trans dan Kitrans) pun terjadi pada saat masa akhir pekan panjang. Dengan kondisi seperti ini tentu sangat mungkin komponen pada bus cepat aus. Maka terlalu riskan jika kita hanya mengandalkan mekanisme keur dalam pengawasan kelaikan bus pariwisata, sekalipun dengan asumsi keur dijalankan dengan benar.
Belum lagi harus diakui bahwa tidak sedikit PO pariwisata "dibawah tangan", bus dibeli dari PO di daerah tertentu, dengan tetap nama PO tersebut, namun dioperasikan penyewaannya di daerah lain oleh perusahaan lain, yang tidak jarang perorangan dengan fasilitas perawatan bus yang minim. Praktek seperti ini lazim terjadi di dunia bus pariwisata, karena, selain sulitnya mengajukan perijinan PO Pariwisata resmi bagi pengusaha kecil atau pemula, penggunaan bus pariwisata di luar wilayah domisili bus tersebut adalah sesuatu yang legal dimana dalam UU 22/2009 bus pariwisata termasuk angkutan non trayek yang bisa beroperasi dimana saja. Sebagai contoh bus HS Trans yang sebelumnya adalah milik sebuah PO di Tulungagung, namun setelah dibeli oleh pemilik HS Trans beroperasi diluar daerah domisili bus. Hasil penelusuran Kemhub, STNK bus tersebut bahkan belum dibalik nama oleh pembelinya.
Maka perlu dibuat solusi yang sesuai dengan UU yang sudah ada, yakni diadakannya terminal bus pariwisata resmi. Terminal bus pariwisata sebenarnya sudah ada di beberapa lokasi wisata, seperti di Ngabean dan Abubakar Ali (Yogjakarta), Jungle (Bogor), TMII, dan beberapa lokasi wisata lain. Namun selama ini terminal-terminal tersebut hanya berfungsi sebagai lokasi parkir bus. Pengelolanya pun lebih banyak pihak swasta sehingga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan maupun pemeriksaan kepada armada bus.
Terminal-terminal bus pariwisata tersebut sangat mungkin untuk ditingkatkan statusnya menjadi terminal resmi, dimana regulator bisa leluasa melaksanakan kewenangannya dalam mengawasi dan memeriksa kelaikan jalan armada bus pariwisata. Jadi semua bus yang keluar-masuk terminal bus pariwisata tersebut merupakan bus yang benar-benar memenuhi syarat beroperasi baik secara kelaikan jalan maupun secara hukum, yakni bus yang surat-suratnya lengkap baik keur, ijin trayek wisata, STNK maupun tanda bukti bayar asuransi Jasa Raharja dan dikemudikan oleh pengemudi yang memiliki SIM. Selain memeriksa administrasi, regulator pun bisa melakukan pemeriksaan fisik bus pariwisata di terminal-terminal Pariwisata. Sehingga bus pariwisata yang melakukan perjalanan pulang dari lokasi wisata dipastikan tidak ada yang tidak laik jalan.
Terkait pengelolaan, terminal pariwisata sangat mungkin dikelola oleh pihak swasta, termasuk pengelola eksisting karena dimungkinkan menurut UU 22/2009 pasal 36. Meski begitu tetap harus ada ruang bagi regulator untuk menjalankan perannya.