Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan  http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2015/02/10/jakarta-bromo-malang-batu-jakarta-kurang-dari-48-jam-706064.html 1 November 2014 08.00 Pos Jemplang Pos Jemplang merupakan sebuah pertigaan dimana jika kita dari arah Tumpang (Malang) ke kanan menuju Ranupane (Semeru), sedangkan ke kiri menuju Lautan Pasir (Bromo). Sebenarnya jarak dari Jemplang ke lautan pasir cukup dekat, sekitar 2 KM. Namun sayang, ketika saya lewat, 2 KM itu masih berupa jalan berbatu, bukan beraspal seperti dari Bukit Penanjakan/Wonokitri ke Lautan Pasir. Meski sebenarnya kondisi kontur jalan Jemplang-Lautan Pasir lebih baik dari Wonokitri-Lautan Pasir yang berkelok-kelok dan curam. Saat itu saya menyesalkan kenapa sisa 2 KM Jemplang-Lautan Pasir tidak diaspal. Jika itu sudah diaspal, tentu Malang bisa turut "menjual" Bromo seperti Probolinggo dan Pasuruan. Karena sesungguhnya lebih dekat Malang ke Bromo daripada Surabaya ke Bromo baik via Pasuruan (Tosari-Wonokitri) maupun Probolinggo (Sukapura). Dari Malang ke Bromo via Gubuklakah, Ngadas, Jemplang hanya sekitar 54 KM. Keunggulan lain Malang memiliki banyak moda transport ke seluruh Jawa (via KA dan bus) maupun Jakarta, Bali, Balikpapan, Berau (dengan pesawat). Sayang potensi itu seakan kurang diperhatikan. (catatan: sesampai di Jakarta saya googling dan dapat berita jalan itu akan diaspal http://bisnis.liputan6.com/read/2158553/pnbp-bromo-semeru-capai-rp-15-miliar-di-2014 ) [caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Rute Bromo Ngadas dilihat dari Google Earth (Foto: Zodapopz, Detik Traveler) "][/caption] Sesudah memulihkan tenaga, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Malang via Ngadas-Gubuklakah-Tumpang dengan jarak sekitar 40 KM. Saya jalan perlahan. Aan seperti biasa memacu sepeda motornya lebih cepat. Tidak lama kami sampai Desa Ngadas. Disini sedang panen kentang, terlihat di beberapa sisi jalan orang sedang memanggul kentang. Sungguh pemandangan yang menyejukan mata. Saya kehilangan jejak Aan, hingga saya menemukan persimpangan. 1 jalur ke kiri agak menurun, 1 jalur ke kanan agak naik. Karena bingung saya memutuskan bertanya kepada sekumpulan orang yang berkumpul di sebuah pos ronda. Dengan ramah warga disana mengarahkan, "Sebenarnya dua-duanya bisa mas. Tapi mas ambil yang bawah saja lebih cepat", jelas mereka. Saya mengikuti arahan mereka. Masih melihat beberapa perkebunan kentang sedang di panen, jalanan di Ngadas sungguh unik. Ngadas sendiri berada di ketinggian 2200 dpl, namun tidak bisa dibilang dataran tinggi. Karena kontur Ngadas yang tidak berupa dataran luas, melainkan dataran memanjang seakan menggantung diatas langit. Dijamin mata anda akan dimanjakan pemandangan indah dan tubuh anda dimanjakan dengan suhu yang sejuk. Keindahan itu seakan menenangkan saya dan Novi meski terpisah dengan Aan dan Anita. "Paling juga mereka nunggu di depan, atau jika mereka tersasar di simpangan tadi pasti mereka bisa menyusul kita", ujarku ke Novi. Jalan yang sangat menantang adalah ketika kita berada diatas sebuah bukit pematang sempit dimana kanan-kiri adalah jurang. Menantang karena selain pemandangan yang indah sekaligus menakutkan, terpaan angin samping juga mendera motor kami. Hilang keseimbangan sedikit saja fatal akibatnya. [caption id="" align="alignnone" width="806" caption="Jalanan di Ngadas (sumber foto: m1qbal.files.wordpress.com )"]
Jalanan di Ngadas (sumber foto: m1qbal.files.wordpress.com )
[/caption] Sampai tiba suatu masalah baru: rem motor trill saya mendadak blong. Tepatnya rem belakang (kaki). Ini sangat berbahaya karena rem belakang vital dalam kondisi menurun, kondisi yang akan terus kami hadapi sepanjang 40 KM ke depan. Saya coba terus menginjak sampai mentok pun tidak banyak daya gesek yang dikeluarkan rem tersebut. Saya mulai berdoa dalam hati, sengaja saya tidak memberitahu Novi supaya tidak menimbulkan kepanikan di dirinya. Desa Ngadas mulai terlewati oleh kami, berganti hutan belantara. Benar seperti yang disampaikan pengojek Lautan Pasir bahwa tidak lama setelah Ngadas ada perbaikan jalan. Namun perbaikan jalan itu justru menjadi berkah bagi motor saya yang rem nya blong. Saya mengambil sisi jalan yang rusak agar laju motor semakin pelan, selain dengan memasukan perseneling ke gigi 1. Novi sempat curiga dengan gaya mengemudi saya ini. "Koq ambil jalan yang rusak terus?, tanyanya. "Iya, biar bantu pengereman", jawabku. Tidak lama terdengar klakson dari arah belakang. Ternyata itu motor aan dan Anita. Sesuai dugaan saya, mereka mengambil rute naik saat masuk Ngadas tadi. Tidak lama setelah Aan bergabung terlihat sebuah Pos, itulah Pos Corban Trisila. Di Pos itu ada Gapura tertulis "Selamat Datang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru". Rupanya ini adalah Pos masuk TNBTS dari sisi Malang, seperti yang tadi subuh kami lewati di Wonokitri. Cuma bedanya suasana disini lebih sepi, hanya pos. Sementara di Wonokitri banyak warung dan jip sewaan. Kami berhenti di pos itu. Anita dan Novi ke toilet. Sementara saya dan Aan memilih selonjoran. Petugas pos terlihat tidak terganggu dengan kedatangan kami. Puas selonjoran, saya periksa rem motor. Saya tekan-tekan pedalnya. Sekitar 10 menit beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Sengaja tidak lama-lama, karena kami ingin segera sampai rumah di Mendit Malang. Dan tentunya segera mandi air panas lanjut tidur. Ternyata rem motor saya kembali berfungsi. Belakangan saya tahu kalau kondisi terlalu panas bisa menyebabkan rem gagal berfungsi. Dan mungkin saja setelah habis-habisan bekerja sepanjang Lautan Pasir, rem tersebut Overheat karena kami tidak berlama-lama istirahat di Jemplang. Masih di tengah hutan, Aan menghentikan motornya. Ternyata dia menemukan sebuah sumber air berupa air mancur yang keluar dari punggung bukit. Kami semua memanfaatkan untuk cuci muka. Malah kami coba minum, dan ternyata segar sekali. Kami lanjut perjalanan. Kondisi jalan cukup terjal dengan banyak tikungan tajam. Dari arah berlawanan kami berpapasan dengan beberapa jip yang menuju Ranupane. Kami melintas kawasan air terjun Corban Pelangi. Corban Pelangi adalah air terjun yang terkenal dengan munculnya pelangi diantara jam 10-14 jika cuaca cerah. Namun kami tidak mampir karena mengejar waktu sampai Malang. Desa selanjutnya yang kami temui adalah Gubuklakah. Baik Ngadas maupun Gubuklakah masuk ke dalam Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Mulai dari Gubuklakah suasana desa sudah mulai ramai. Kondisi jalan sudah tidak berkelak-kelok meski kontur masih menurun. Setelah Gubuklakah berturut-turut kami melewati desa Wringinanom, desa Poncokusumo dan desa Belung. Di desa Poncokusumo kami melintasi perkebunan apel. Selain Batu, penghasil apel terbesar di Malang Raya adalah Poncokusumo. Kontur jalan menurun. Sepanjang Gubuklakah-desa Belung praktis saya tidak menarik pedal gas sama sekali. Kondisi fisik yang lelah menurunkan tingkat konsentrasi, itulah yang menyebabkan saya memilih memelankan laju motor. Di desa Belung kami sudah bisa dibilang berada dalam 'peradaban' manusia kota. Disini motor kami arahkan menuju Tumpang untuk selanjutnya sampai di Mendit. Di Tumpang kami sempatkan berhenti untuk sarapan. Tadinya pilihan saya adalah bakso di pasar Pakis. Namun dikarenakan perut kami sudah sangat lapar, akhirnya kami memilih berhenti di Tumpang. Perjalanan Tumpang-Pakis-Mendit praktis kami sudah berada di jalan kabupaten. Jalan cukup lebar dan ramai. Kami sampai di Mendit pukul 10.30 untuk beristirahat dan kembali berpesiar ke Malang dan Batu Bersambung ke Jakarta-Bromo-Malang-Batu-Jakarta Kurang dari 48 Jam (Bagian3) Salam Andreas Lucky Lukwira pengasuh akun @NaikUmum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya