Sebuah langkah mundur diambil oleh Unit Pengelola Transjakarta (UP TJ) mulai 1 Agustus 2014. Yaitu penghapusan tarif terintegrasi antara TJ dengan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) dan Bus Kota Terintregasi Busway (BKTB). Alasannya adalah pembenahan permasalahan E-Ticketing yang mana APTB dan BKTB masih menggunakan tiket kertas berdasarkan rute dan operator. Sebelumnya penumpang cukup membayar tiket Rp. 5.000 (dalam Koridor/BKTB) dan Rp. 8.500- Rp 14.000 (rute keluar koridor sesuai jarak).
Langkah ini merupakan sebuah langkah mundur yang diambil oleh UP TJ dimana sebelumnya selama kurang dari 2 tahun UP TJ dan operator bus kota/antar kota sukses melahirkan 17 rute APTB dan beberapa rute BKTB. Kenapa bisa dibilang sukses? Karena bisa kita lihat dari animo penumpang APTB dan BKTB yang cukup tinggi. Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation and Development (ITDP) sempat meriset jumlah penumpang BKTB Kopaja AC P20 yang mencapai 2.500 orang per hari.
Keberadaan APTB dan BKTB juga turut membantu mengurangi kepadatan penumpang di shelter-shelter TJ dimana disaat masih buruknya jarak antar kendaraan (headway) TJ, APTB/BKTB bisa menjadi pilihan bagi penumpang TJ yang rutenya sesuai rute BKTB/APTB. Meski membayar Rp 1.500 lebih mahal dari tarif TJ, namun BKTB/APTB dalam koridor sangat diminati banyak penumpang TJ. Hal ini penulis lihat sendiri di koridor 9 dimana banyak penumpang APTB (baik dari Grogol, Blok M, maupun Tanah Abang) yang turun di dalam koridor (Jamsostek-BNN).
Faktor lain penumpang lebih memilih APTB/BKTB adalah karena kenyamanannya dan fasilitasnya lebih baik dari TJ. Perawatan yang lebih baik dari masing-masing operator (dan awak tentunya) menjadikan APTB dan BKTB lebih nyaman dibandingkan TJ yang terkesan apa adanya, baik perawatan mesin maupun kebersihan ruang penumpang. Beberapa Kopaja AC bahkan dilengkapi fasilitas wi-fi, sementara APTB Sinar Jaya menyediakan fasilitas LCD TV untuk penumpangnya. Beda dengan TJ yang hanya memiliki fasilitas standar berupa AC.
Sebagai pengguna rutin TJ, penulis bisa melihat perbandingan kedatangan TJ dengan APTB di shelter Cawang Cikoko (Koridor 9) bisa 1 banding 5. Artinya jumlah APTB yang datang lebih banyak dari TJ. Tidak heran APTB menjadi pilihan utama penumpang di koridor tersebut. Rapatnya headway ini juga membuat ruang jalan di busway lebih sering terpakai, sehingga peluang kendaraan pribadi menerobos busway lebih kecil karena akan terbentur banyaknya antrian bus di masing-masing shelter.
Dalam penanggulangan macet, APTB dan BKTB merupakan bentuk tepat angkutan umum. Dimana penumpang, yang biasanya menyetop sembarangan di pinggir jalan, dilokalisir ke masing-masing shelter. Kebiasaan ngetem angkutan umum terkurangi karena jalur tunggal busway yang tidak memungkinkan ngetem.
Selain melokalisir penumpang, APTB dan BKTB bisa juga kita lihat sebagai angkutan umum yang dilokalisir ke dalam busway sehingga tidak “berserakan” di jalan. Angkutan umum sampai saat ini masih dianggap sebagai biang macet Jakarta, padahal jumlahnya tidaks ampai 5 % populasi kendaraan di Jakarta. Semua itu karena keberadaan angkutan umum yang ngetem secara “berserakan” mulai di pinggir jalan hingga tengah jalan.
Kelebihan-kelebihan APTB dan BKTB tadi dipersatukan dengan yang namanya “Tiket Terintegrasi” yaitu tiket tunggal yang bisa dibeli penumpang di masing-masing shelter yang dilalui APTB-BKTB. Dengan hanya menambah Rp 1.500 maka penumpang bisa memiliki 2 opsi, naik TJ atau APTB/BKTB, tergantung mana yang datang lebih dulu.
Namun semua itu akan hilang mulai 1 Agustus 2014. Koran Tempo edisi 18 Juli mengabarkan tarif terintegrasi tersebut akan dihilangkan. Semua shelter TJ tidak akan menjual tiket APTB/BKTB. Seperti yang penulis sampaikan di atas, alasannya adalah e-ticketing.
Penulis ingin mengingatkan kepada UP TJ bahwa upaya tersebut sama saja menaikan tarif. Tiap penumpang akan merogoh uang Rp 3.500 lebih banyak setiap naik. Jika sehari pulang pergi menggunakan APTB/BKTB maka akan menjadi Rp 7.000. Bagi warga Jakarta, nilai tersebut akan sangat berharga jika diakumulasikan selama 1 bulan. Hal ini akan mendorong orang kembali naik kendaraan pribadi, utamanya sepeda motor. Jika melihat data ITDP terkait penumpang Kopaja AC P20, maka akan ada tambahan miniimal 500 sepeda motor/mobil di koridor Lebakbulus-Cilandak-Mampang-Kuningan-Senen. Itu belum rute APTB dan BKTB lain.
Penulis juga ingin mengingatkan UP TJ akan potensi penumpang menyetop APTB dan BKTB di luar shelter. Hal ini tentu membahayakan penumpang tersebut dan kendaraan lain. Potensi ini bukan tidak mungkin ada, karena sampai saat ini masih ada saja penumpang yang nekat menyetop APTB dan BKTB di luar shelter/halte, bahkan di separator busway.
Solusinya agar tiket APTB dan BKTB tetap ada sementara program e-ticketing tetap jalan adalah menggunakan mesin EDC atau alat untuk taping sesuai harga. Alat-alat ini sudah ada di tiap bank yang menerbitkan e-ticketing TJ. Bahkan minimarket-minimarket sudah hampir semua memiliki alat ini. Konsepnya adalah saldo e-ticketing penumpang akan terpotong sesuai dengan tiket yang ia beli. Jika naik TJ, saldo yang terpotong adalah sesuai tarif TJ yakni Rp 3.500. Pun begitu jika penumpang akan menaiki APTB dan BKTB, maka saldo yang terpotong adalah sesuai rute penumpang tersebut.
Menghapus tiket terintegrasi TJ-APTB/BKTB merupakan langkah mundur dalam menciptakan transportasi umum yang aman, nyaman, dan terintegrasi. Dan tentunya akan menjadi langkah mundur dalam pemecahan masalah kemacetan di Jakarta.
Dimuat di Warta Kota 22 Juli, halaman 6
Andreas Lucky Lukwira
pengasuh akun @NaikUmum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H