[caption id="attachment_299526" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi terminal CNG terapung Sumber: energitoday.com"][/caption]
Kentut Hitam Peminum Solar
Empat tahun yang lalu. PLN masih banyak memiliki pembangkit listrik raksasa yang semestinya dijalankan dengan gas (PLTG), tapi dijalankan dengan solar. Jumlah semuanya sekitar 5.000 Megawatt. Tersebar mulai dari Jakarta, Bekasi, Gresik, Pasuruan, dan berbagai tempat lainnya.
Tapi PLN tidak bisa mendapatkan gas. Biarpun negeri ini merupakan pengekspor gas. Kalau saja 5.000 MW PLTG ini bisa mendapat gas, PLN akan menghemat sedikitnya 10 triliun pertahun (berdasar harga BBM waktu itu). Belum lagi polusi karena asap hitam dari cerobong PLTG yang dipaksa meminum solar.
Bagi PLN, untuk mendapatkan gas sulitnya minta ampun. Pemilik ladang gas di Indonesia baik asing atau swasta ingin menjual gasnya dengan harga terbaik. Sebab investasi untuk menemukan ladang gas itu tidak sedikit. PLN harus bersaing dengan pembeli-pembeli yang lain: pedagang luar negeri atau pedagang dalam negeri seperti Perusahaan Gas Negara (PGN).
Pemilik ladang gas juga ingin pembeli harus mengambil semua gas yang dihasilkan suatu sumur, berapapun jumlahnya. PLN kesulitan. Sebuah pembangkit listrik sudah didesain memerlukan gas sekian MMBTU (satuan untuk gas). Sedangkan produksi sebuah sumur gas kadang kurang atau lebih dari kebutuhan satu pembangkit.
Kalau produksi sebuah sumur gas kelebihan dari kebutuhan pembangkit, dilema muncul. Dibeli semua PLN rugi, tidak dibeli semua pemilik sumur gas rugi.
Menghadapi kesulitan dan dilema seperti itu, Dahlan Iskan memutuskan. PLN harus membangun penampung LNG yang disebut terminal gasifikasi LNG atau storage CNG. Di terminal ini juga LNG dirubah menjadi CNG, sebelum dapat digunakan untuk bahan bakar PLTG. Dengan storage CNG, PLN bisa lebih leluasa membeli LNG.
LNG bisa dibeli dari mana saja. Bisa dari Tangguh di Papua (yang dijual Megawati ke China), bisa dari Senoro di Sulteng. Kalaupun tidak dapat membeli gas dalam negeri, PLN bisa membeli ke Qatar atau Iran. Asal penampungnya sudah ada.
Mimpi Bukan Hanya untuk Ini
Sekarang impian Dahlan Iskan empat tahun yang lalu menjadi nyata. Rupanya Nur Pamuji yang menggantikan Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN tetap melanjutkan impian itu. Kemarin, 17 Maret 2014 storage CNG Muara tawar-Bekasi diresmikan. Â Langsung bisa menghemat BBM hingga 1,7 triliun pertahun. Dengan investasi 557 miliar dan pengerjaan fisiknya hanya 8,5 bulan.
Di storage CNG Muara Tawar, PLN menampung dan mengkompresi LNG yang di beli dari PGN dan Pertamina EP rata-rata 180 BBTUD. Kebutuhan PLN di luar beban puncak hanya  100 BBTUD. Sedangkan saat beban puncak 300 BBTUD.
Kelebihan gas di luar beban puncak ditampung. Selanjutnya dipakai menutupi kekurangan saat beban puncak. Tidak perlu lagi ditutupi menggunakan BBM sebesar 203 ribu kiloliter pertahun. Atau seharga 1,7 triliun.
Inefisiensi 1,7 triliun ini hanya berdasar penggunaan BBM saat beban puncak saja. Coba bayangkan, berapa triliun pemborosan yang dilakukan pertahun jika PLTG itu benar-benar 100% menggunakan BBM. Tidak menggunakan gas sama sekali.
Selain menghemat BBM, storage CNG Muara Tawar ini mampu mengurangi emisi SO2 sebesar 350 ton pertahun.
Selain PLTG Muara Tawar, PLTG seluruh Jawa juga sudah bebas BBM. Muara Karang, Tambak Lorok, dan Gresik sudah tidak menggunakan BBM lagi. Cerobong-cerobong yang dulu mengeluarkan asap hitam sudah sirna. Mimpi 10 triliun Dahlan Iskan sebagian besar sudah menjadi nyata.
Karena sekarang PLN dapat melangkah lebih ringan meraih mimpi itu. Sebelum Dahlan Iskan menjadi menteri BUMN, jangankan dibantu. PLN malah bersaing dengan perusahaan BUMN lainnya untuk mendapatkan gas. Konon lagi dengan perusahaan asing. Belum lagi kesulitan PLN karena tidak memiliki terminal penampung.
Selain untuk PLN. Dahlan Iskan memiliki mimpi untuk yang lain. Dahlan Iskan sekarang sedang gencar  mengkampanyekan merdeka energi. Mendorong penggunaan LNG semaksimal mungkin untuk industri dalam negeri dan rumah tangga. Yang selama ini masih bergantung pada BBM impor atau LPG impor.
Karena Indonesia sangat kaya LNG. LNG adalah gas alam cair yang didapat dari sumur-sumur gas. Selanjutnya LNG ini dikompres dalam tabung besar menjadi CNG. Sedangkan LPG adalah gas bawaan dari sumur minyak. Oleh sebab itu Indonesia harus mengimpor LPG sebagaimana Indonesia juga mengimpor minyak.
LNG atau CNG tidak ekonomis ditampung dalam tabung-tabung kecil. Harus ditampung dalam tabung khusus berteknologi dalam ukuran besar (storage CNG). Setelah itu dialairkan langsung ke pengguna akhir dengan pipa-pipa. Pembangkit listrik, industri atau rumah tangga.
Sekarang Dahlan Iskan mengintruksikan PGN lebih gencar membangun pipa-pipa gas kota. Agar indonesi a terbebas dari  ketergantungan impor BBM dan LPG.
Persoalan negeri ini memang gampang-gampang susah. Gampang karena sumber daya sudah ada. Tinggal mencari pemimpin yang mau dan MAMPU mengurainya. Susah jika pemimpinnya tidak MAMPU atau tidak peduli. Semua sibuk memikirkan kepentingan diri-sendiri. Tanpa peduli persoalan negeri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H